JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Suhartoyo menjadi narasumber Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) kerja sama Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) dengan DPC Peradi Jakarta Timur. PKPA Angkatan XVI ini digelar pada Jumat (1/4/2022) sore secara daring.
Memulai pertemuan, Suhartoyo menjelaskan arti hukum acara sebagai aturan, prosedur dalam beracara. Dengan demikian, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK) adalah aturan, prosedur yang mengatur tata cara mengajukan permohonan perkara ke MK, termasuk juga tata cara dalam persidangan MK.
Karakteristik Berbeda
Bicara mengenai Hukum Acara MK, ujar Suhartoyo, tidak terlepas kewenangan dan kewajiban MK. Kewenangan MK yang berbeda dan memiliki karakteristik tersendiri adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan ini menjadi ciri khas MK, ada Pemohon tetapi tidak ada Termohon karena yang diuji adalah norma undang-undang.
“Berbeda dengan kewenangan-kewenangan MK lainnya, ada Pihak Pemohon dan Termohon,” kata Suhartoyo yang menyajikan materi “Beracara di Mahkamah Konstitusi”.
Sebagaimana diketahui, selain berwenang menguji undang-undang terhadap UUD, MK berwenang memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Selain itu MK berwenang memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilu. Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR mengenai adanya dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran tindak pidana. Selain itu ada kewenangan tambahan MK yaitu mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Kewenangan mengadili perkara pemilihan kepala daerah tidak diturunkan dari konstitusi.
Empat kewenangan dan satu kewajiban MK tersebut, ungkap Suhartoyo, merupakan perintah konstitusi yakni Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 serta UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun tidak termasuk kewenangan tambahan MK yakni mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang berdasarkan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dua Model Pengujian UU
Suhartoyo lebih lanjut menerangkan dua model atau dua objek pengujian undang-undang. Pertama, pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Kedua, pengujian materiil sebagai pengujian undang-undang yang berkenaan dengan substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Suhartoyo juga mengungkap sejumlah alasan Pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu, harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya undang-undang.
Selanjutnya, kata Suhartoyo, yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Suhartoyo juga menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa.
Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya adalah memberi kemudahan pada access to justice kepada masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Mengenai sistematika permohonan, ungkap Suhartoyo. terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara offline maupun secara online.
Berikutnya, Suhartoyo menyinggung tahap persidangan di MK, dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Setelah itu, ada sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim MK. Tahap berikutnya, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi.
Tahap akhir adalah sidang pengucapan putusan. Putusan MK, ujar Suhartoyo, bersifat erga omnes. Meskipun permohonan dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan bersifat umum dan memengaruhi hukum di Indonesia. Putusan MK juga bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada upaya hukum lagi setelah adanya Putusan MK. Selain itu, Putusan MK dapat bersifat pemberlakuan secara bersyarat.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.