JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Permohonan Nomor 26/PUU-XX/2022 mengenai Permohonan Pengujian Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditarik Kembali. Demikian dikatakan Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan Ketetapan Nomor 26/PUU-XX/2022 yang diajukan Djudjur Prasasto, Selasa (29/3/2022) siang secara daring dari Ruang Sidang Pleno MK.
MK dalam pertimbangannya menyebutkan telah menyelenggarakan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan ini pada 17 Maret 2022. Pada Sidang Panel tersebut, Pemohon melakukan klarifikasi untuk melakukan penarikan atas permohonan yang telah diajukannya. Hal tersebut dilakukan karena Pemohon memiliki keterbatasan pengetahuan bahasa hukum untuk menyusun permohonan yang sesuai dengan sistematika pengajuan permohonan yang ditetapkan MK.
Terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, sambung Anwar, berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 22 Maret 2022 menyimpulkan dan menyatakan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 26/PUU-XX/2022 beralasan menurut hukum. Di samping itu Pemohon juga tidak dapat mengajukan kembali permohonan sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut, Panitera Mahkamah Konstitusi dapat mencatat perihal penarikan kembali permohonan tersebut dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.
Baca juga:
Pemohon Cabut Pengujian Asas Pemilu “Bebas” dan “Rahasia”
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 26/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Djudjur Prasasto. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (17/3/2022) Pemohon mendalilkan Pasal 2 UU Pemilu yang berbunyi, “Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,” bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon yang hadir dalam persidangan secara daring tanpa didampingi kuasa hukum menyatakan, kata “bebas” dan “rahasia” bermakna tumpang tindih. Ia mengilustrasikan jika seseorang dijamin kebebasan untuk memilih, seharusnya termasuk bebas untuk mempublikasikan atau merahasiakan pilihannya. Sebaliknya, jika seseorang terpaksa harus merahasiakan pilihannya, orang tersebut berarti dalam kondisi tidak bebas. Selain itu, Pemohon juga menyebutkan jika kata “rahasia” pada asas pemilu tidak lagi relevan pada era digital saat ini.
“Apabila menghilangkan prinsip ‘rahasia’ dalam pemilu, membuka peluang sistem coblos dengan menerapkan e-voting sehingga lebih ekonomis, cepat, dan akuntabel. Sebab, pemilih akan memiliki rasa keterlibatan dalam memilih karena dapat melakukan penelusuran identitas pemilih, baik dari tingkat TPS maupun hingga tingkatan nasional,” jelas Djudjur pada sidang panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dengan Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih selaku hakim anggota.
Namun setelah menyampaikan pokok permohonan, Pemohon secara bersamaan juga menyatakan mencabut permohonan uji materi UU Pemilu ini.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.