JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2024 yang dilakukan secara serentak sebagaimana diatur dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diuji secara materiil. Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Partai Gelora Indonesia yang diwakili oleh Anis Matta, dkk., tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 35/PUU-XX/2022. Sidang perdana perkara tersebut digelar pada Kamis (24/3/2022) di Ruang Sidang Pleno MK secara daring.
Amin Fahrudin selaku kuasa hukum menyampaikan bahwa Pemohon berpotensi besar menjadi peserta pemilu pada 2024. Hal ini didasarkan karena adanya legalitas Surat Keputusan Kemenkumham Nomor M.HH-11.AH.11.01 Tahun 2020 tentang Pengesahan sebagai Badan Hukum Partai Politik (parpol) serta pencapaian internal tentang persyaratan administrasi dan faktual organisasi untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Undang‑Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
“Sebagai partai politik baru dalam mengikuti Pemilihan Umum (pemilu) pada tahun 2024, Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sepanjang frasa ‘pemungutan suara dilaksanakan secara serentak’ dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi ‘pemungutan suara dilaksanakan secara serentak’,” ujar Amin.
Menurut Amin, hal itu akan hilang karena berlakunya ketentuan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Pemilu juncto Pasal 222 UU UU Pemilu yang mensyaratkan partai politik atau gabungan partai politik dapat mengusulkan capres dan cawapres dengan syarat harus memenuhi paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR RI atau 25% perolehan suara hasil Pemilihan Umum 2019.
“Selain itu, hal ini dikuatkan dalam Penjelasan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum yang berbunyi, ‘yang dimaksud dengan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilihan umum anggota DPR RI sebelumnya adalah perolehan kursi DPR RI atau perolehan suara sah baik yang mempunyai kursi di DPR RI maupun yang tidak mempunyai kursi di DPR pada pemilihan umum anggota DPR RI terakhir,” tegas Amin dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Berdasarkan penjelasan Pasal 222 UU Pemilu sebagaimana diuraikan di atas, Amin menyebut, syarat persentase dukungan minimal untuk pencalonan presiden dan wakil presiden 20% perolehan kursi DPR atau 25% perolehan suara nasional pada pemilihan umum anggota DPR RI terakhir harus dimaknai dari hasil Pemilihan Umum DPR RI Tahun 2019.
Oleh karena itu, sambung Amin, meskipun Pemohon pada saat tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden kemungkinan besar telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum tetapi tidak dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, serta Pemohon tidak memiliki nilai tawar di dalam mengusulkan Calon Presiden - Wakil Presiden untuk bergabung dengan partai politik lain.
Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon memandang putusan MK sebagai perwujudan Living Constitution demi terwujudnya Pemilu yang berkeadilan dan berkemanusiaan. Pemohon berpendapat pertimbangan MK mengubah pendapat dalam menetapkan keserentakan Pemilu dikarenakan alasan original intent adalah kurang tepat. Sehingga jika Pemilu dilaksanakan secara terpisah antara pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden adalah konstitusional.
Pemohon juga memperkuat argumentasi dengan beranggapan Pemilu 2019 memperlemah posisi dan peran parlemen dalam sistem presidensial, check and balances tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Hal tersebut dirasa Pemohon merupakan implikasi negatif dari diselenggarakannya Pemilu secara serentak yang membuat pemilih tidak fokus. Akibatnya, kualitas anggota legislatif yang rendah dan tidak dapat melaksanakan peran dalam mewujudkan aspirasi rakyat.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 167 ayat (3) sepanjang frasa “Secara Serentak” dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Menyatakan pemilihan umum untuk memilih anggota Lembaga Perwakilan (DPR, DPD dan DPRD) diselenggarakan sebelum pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden,” tandas Amin.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan pemohon untuk membaca Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) terbaru. Selain itu, ia juga menyarankan agar Pemohon untuk membangun argumentasi mengenai pertentangan norma terkait pemilihan serentak dengan pasangan calon (paslon).
“Pertentangan norma ini belum tampak di permohonan saudara kecuali saudara bicara Pasal 222 dengan Pasal 6A itu. Tolong nanti pertimbangkan kembali untuk menguatkan argumentasi-argumentasi yang memang merupakan argumentasi tidaklah kemudian diputus oleh MK dalam putusan-putusan yang sudah disebutkan dalam permohonan,” ujar Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta Pemohon untuk menguraikan alasan-alasan secara sosiologis dan yuridis agar dapat mengubah pendirian MK terkait putusan-putusan yang sudah ada sebelumnya. “Biasanya dalam uraian diperkuat dengan landasan teori, asas ataupun doktrin dan itu nanti besar harapan dapat mempengaruhi hakim dalam putusan-putusan sebelumnya,”jelas Daniel.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina