JAKARTA, HUMAS MKRI – Ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kewenangan mineral batubara tidak tertutup dengan berlakunya Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerbal dan Batubara (UU Minerba). Hal dalam UU tersebut tetap mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah daerah provinsi.
Demikian disampaikan oleh Eko Prasojo yang menjabat sebagai Pakar Kebijakan Publik Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dalam sidang pengujian materiil UU Minerba) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Sidang kelima Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 ini digelar pada Selasa (22/3/2022) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) secara daring. Perkara tersebut diajukan oleh 4 (empat) Pemohon yang terdiri dari Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Pemohon I, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) sebagai Pemohon II, Nurul Aini, sebagai Pemohon III, dan Yaman sebagai Pemohon IV yang merupakan seorang Petani dan Nelayan.
Baca juga: Menyoal Hilangnya Peran Pemerintah Daerah dalam UU Minerba
Lebih lanjut Eko menjelaskan UU Minerba membuka kemungkinan pendelegasian kewenangan penguasaan mineral batu bara kepada pemerintah daerah provinsi seperti disebutkan dalam Pasal 35 ayat (4). Menurutnya, model pendelegasian kewenangan mineral dan batubara kepada pemerintah daerah provinsi sebagai daerah otonom dilakukan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan asas otonomi, asas tugas pembantuan, dan juga asas dekonsentrasi.
“Makna pendelegasian Undang‑Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara umum juga mencakup desentralisasi sebagaimana dimaksud dalam Undang‑Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagai lex spesialis untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah,” papar Eko dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Selain itu, Eko menyebut dalam Pasal 35 ayat (4) UU Minerba menyatakan, “Pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan berusaha kepada pemerintah daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan”. Pendelegasian kewenangan perizinan berusaha oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah provinsi didasarkan pada prinsip efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, eksternalitas dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan antara lain pemberian izin pertambangan rakyat dan surat izin pertambangan batuan.
Baca juga: DPR Bantah Adanya Pengurangan Kewenangan Pemda Terkait Izin Usaha Pertambangan
Sesuai Prinsip
Eko juga menyampaikan penarikan kewenangan pertambangan mineral dan batubara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) sudah sesuai dengan prinsip pemberian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Prinsip pemberian kewenangan harus memperhatikan, yakni kemampuan untuk mengatur dan mengurus oleh pemerintahan daerah atau capability to govern, kerusakan yang ditimbulkan akibat pelaksanaan kewenangan yang tidak baik (bad governance).
“Dan juga tingkat efisiensi keuangan negara dan perekonomian yang lebih besar, tujuan kesinambungan pembangunan atau sustainable development goals, dan juga eksistensi keberadaan negara,” ujar Eko.
Baca juga: Pemerintah: Perubahan UU Minerba untuk Perbaiki Sektor Pertambangan
Dalam kesempatan tersebut, Eko juga menjawab pertanyaan kuasa hukum Pemerintah mengenai penguasaan mineral dan batu bara oleh negara yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat sesuai dengan Pasal 18A dan juga Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Menurutnya, pemerintahan daerah merupakan pemencaran kekuasaan eksekutif di daerah. Kekuasaan pemerintahan yang dimiliki oleh provinsi dan kabupaten/kota pada dasarnya merupakan kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh Presiden sesuai dengan mandat konstitusi.
“Sehingga apa yang menjadi kewenangan Pemerintah kabupaten/kota dan juga provinsi, itu adalah merupakan kewenangan pemerintahan yang didelegasikan atau diatribusikan oleh undang‑undang yang mengatur, apakah itu Undang‑Undang Pemerintahan Daerah atau undang‑undang yang secara sektoral mengatur mengenai kewenangan urusan yang didelegasikan kepada pemerintah daerah. Sehingga pemerintah pusat, tentunya bersama‑sama dengan DPR yang memiliki kekuasaan membentuk undang‑undang, itu bisa menarik kembali apa yang menjadi kewenangan pemerintah daerah sesuai dengan perkembangan situasi sosial, politik, dan juga situasi ekonomi di dalam masa tertentu,” papar Eko.
Sebelumnya, Pemohon menguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja, yakni Permohonan Pengujian Materiil Ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17 ayat (2), Pasal 17A ayat (2), Pasal 21, Pasal 22A, Pasal 31A ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40 ayat (5) dan (7), Pasal 48 huruf a dan b, Pasal 67, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 93, Pasal 105, Pasal 113, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 140, Pasal 142, Pasal 151, Pasal 162 (juncto Pasal 39 UU Cipta Kerja), Pasal 169A ayat (1), Pasal 169B ayat (3), Pasal 169C huruf g, Pasal 172B ayat (2), Pasal 173B, Pasal 173C UU Minerba. Pasal-pasal tersebut dinilai multitafsir sehingga merugikan hak konstitusional para Pemohon. Untuk itu, Pemohon meminta Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.