JAKARTA, HUMAS MKRI – Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta)—termasuk Pasal 18 yang mengatur mengenai jangka waktu pengembalian hak cipta—merupakan bentuk perlindungan Pemerintah kepada pencipta dan pelaku pertunjukan sebagai bagian dari kekayaan intelektual Indonesia. Hal ini disampaikan Khrisna Kuncahyo Winardi selaku kuasa hukum Satrio Yudi Wahono alias Piyu PADI yang menjadi Pihak Terkait dalam sidang perkara uji materiil UU Hak Cipta pada Senin (21/3/2022). Perkara Nomor 63/PUU-XIX/2021 yang dimohonkan oleh PT Musica Studios ini mengujikan Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta. Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Khrisna mengemukakan bahwa berlakunya Pasal 18 UU Hak Cipta tidak menghalangi Pihak Terkait sebagai pencipta lagu. Pihak Terkait menyebut aturan perjanjian jual putus atau sold flat tanpa batas waktu yang selama ini berlaku sangat merugikan bagi pencipta dan pelaku pertunjukan.
“Sesungguhnya, berlakunya ketentuan pasal‑pasal a quo, sama sekali tidak menghalangi hak Pemohon sebagai warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang adil dalam hukum. Contohnya, Pemohon tetap dapat membuat perjanjian pengalihan hak ekonomi dengan pencipta lagu, sepanjang perjanjian tersebut bukan perjanjian jual putus atau sold flat. Pasal-pasal a quo justru memberikan penguatan terhadap jaminan dan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Khrisna tentang Perkara Nomor 63/PUU-XIX/2021 tersebut.
Baca juga: PT Musica Studios Kurangi Pasal Pengujian UU Hak Cipta
Dalam keterangannya mewakili Piyu, Khrisna juga menjelaskan dalam merumuskan dan melaksanakan isi perjanjian harus memperhatikan kepentingan semua pihak, termasuk mengenai perlakuan yang sama dalam pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Ia mengatakan dengan adanya keadaan yang tidak seimbang yang menempatkan perusahaan rekaman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pencipta lagu, telah berarti hal ini menciptakan posisi tawar yang tidak seimbang. “Akhirnya, pencipta lagu mau tidak mau menandatangani perjanjian jual putus yang sangat merugikan para pencipta lagu,” ucapnya.
Menurutnya, perjanjian jual putus yang memberikan hak atas lagu selama-lamanya atau tanpa jangka batas waktu pada perusahaan rekaman tersebut menjadi contoh produk perjanjian yang menunjukkan posisi lemah dari pencipta lagu. Bahkan pencipta lagu hampir tidak memiliki kebebasan sama sekali terhadap perusahaan rekaman dalam bernegosiasi atas syarat-syarat yang diajukan.
“Seharusnya, pengalihan hak ekonomi atas lagu tersebut tidak berlaku selamanya atau tanpa jangka batas waktu, melainkan untuk sekali tempo saja. Keadaan pencipta lagu yang berada dalam posisi tawar lemah inilah yang dimanfaatkan oleh perusahaan rekaman sehingga penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian,” kata Khrisna.
Baca juga: DPR: Pencipta Seharusnya Mendapatkan Banyak Keuntungan Ekonomi
Hak Produser Terlanggar
Sementara itu, keterangan berbeda disampaikan oleh Asosiasi Produser Rekaman Indonesia (Asprindo). Leo Famli yang mewakili Asprindo menyampaikan bahwa ketentuan Pasal 63 ayat (1) huruf b Undang-Undang Hak Cipta melarang pihak lain untuk mengeksploitasi fonogram tanpa seizin dari karena terdapat hak untuk mengeksploitasi fonogram sejak tercipta hingga 50 tahun dan tanpa batas waktu. Akan tetapi, lanjutnya dengan berlakunya ketentuan Pasal 18 dan Pasal 122 Undang-Undang Hak Cipta mengakibatkan hak Asprindo yang dilindungi dalam UU tersebut menjadi terlanggar dan terampas sehingga pada intinya hak cipta suatu ciptaan lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fonogram milik Pemohon ataupun Pihak Terkait. Lebih lanjut Leo menyebutkan jika hak cipta yang terdapat pada fonogram tersebut dikembalikan pada pencipta, maka pihaknya tidak dapat lagi menarik royalti atas eksploitasi yang dilakukan oleh pihak manapun terhadap fonogram tersebut.
“Dengan kata lain, fonogram tersebut menjadi kapital mati. Padahal di sisi yang lain, Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang‑Undang Hak Cipta menjamin hak Pihak Terkait untuk dapat mengeksploitasi fonogram tanpa batas waktu dan dapat pula menikmati hak ekonomi dari fonogram tersebut selama 50 tahun sejak fonogramnya difiksasi,” jelas Leo pada sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
Berikutnya, terkait kerja sama antara Pihak Terkait juga memberikan keterangan tentang perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu dengan pelaku pertunjukan. Leo menerangkan sebelum berlakunya Undang-Undang Hak Cipta, jika Pihak Terkait dengan pelaku pertunjukan mengikatkan diri dalam satu perjanjian jual putus, maka hak ekonomi atas suatu karya pelaku pertunjukan tersebut beralih kepemilikannya dari pelaku pertunjukan kepada Pihak Terkait. Dengan demikian, hak ekonomi tersebut menjadi hak milik Pihak Terkait untuk selama-lamanya tanpa batas waktu.
“Dapat disimpulkan, kegiatan usaha bisnis Pihak Terkait akan mengalami kerugian besar, baik secara konstitusional maupun materiil, hak ekonominya apabila permohonan Pemohon mengenai uji Undang‑Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terhadap Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dikabulkan,” sebut Leo yang menghadiri persidangan secara daring.
Pada sidang pendahuluan, Pemohon pada intinya mendalilkan Pasal 18 UU Hak Cipta menghalangi hak milik Pemohon atas suatu karya yang telah dilakukan perjanjian beli putus. Sebab pasal tersebut memberikan ketentuan batas waktu atas sebuah karya cipta, yang kemudian suatu karya tersebut harus dikembalikan pada pemilik cipta setelah 25 tahun. Pemohon menilai ketentuan tersebut merugikan karena hanya berstatus sebagai penyewa dan sewaktu-waktu harus mengembalikan hak tersebut pada pencipta karya.
Selain itu, Pemohon mengungkapkan kehilangan hak ekonomi atas berlakunya ketentuan Pasal 122 UU Hak Cipta. Dengan dikembalikannya hak cipta kepada pencipta, Pemohon tidak dapat mengambil royalti atas eksploitasi yang dilakukan pihak lain atas atas fonogram dari sebuah karya tersebut. Oleh karenanya, Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina