JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana di Ruang Sidang Panel MK pada Kamis (17/3/2022). Perkara yang teregistrasi Nomor 28/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh perseorangan warga negara atas nama Umar Husni selaku Direktur PT Karya Jaya Satria. Wahyu Budi Wibowo selaku salah satu kuasa hukum, Pemohon menyatakan Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 143 ayat (3) KUHAP menyatakan, “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”.
Mengenai kasus konkret, Pemohon mendapatkan surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum atas perkara tindak pidana bidang perpajakan. Akibatnya, Pemohon mendapatkan tiga surat dakwaan, yakni satu putusan dari Pengadilan Negeri Purwokerto dan dua putusan dari Pengadilan Tinggi Semarang. Berkaitan dengan hal ini, Pemohon menilai dirinya dapat saja dikemudian hari mendapatkan dakwaan keempat, kelima, dan seterusnya tanpa adanya batasan yang pasti terhadap proses perbaikan surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan. Namun, sambung Wahyu, yang menjadi permasalahan pada perkara ini, yakni proses surat dakwaan batal demi hukum tersebut dapat saja kemudian dilakukan perbaikan oleh Jaksa Penuntut Umum atau kembali ke proses penyidikan.
“Berkaca dari proses perkara pidana yang telah tiga surat dakwaan terdahulu, kami melihat hal itu menunjukkan Jaksa Penuntut Umum mengalami kebuntuan dalam melakukan perbaikan. Sebab, kebuntuan tersebut harus diurai atau baru dapat diselesaikan jika proses penyidikan dimulai ulang untuk menata dan menyusun suatu berkas perkara yang komprehensif agar dakwaan tidak dinyatakan batal demi hukum lagi,” jelas Wahyu dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Lebih lanjut, Pemohon melihat penafsiran terhadap Pasal 143 ayat (3) KUHAP tersebut, Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki batasan dalam memperbaiki dan mengajukan surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum juga dapat diajukan perlawanan sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (3) KUHAP. Sehingga, proses peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan tidak terjadi serta Pemohon tidak kunjung mendapatkan kepastian hukum.
“Tanpa adanya pembatasan dalam perbaikan dakwaan itu dapat menciderai rasa keadilan dan kepastian hukum karena kemungkinan Jaksa Penuntut Umum akan mengajukan surat dakwaan untuk keempat kalinya dan sangat mungkin adanya perlawanan untuk keempat kalinya,” cerita Wahyu.
Untuk itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “harus dikembalikannya berkas perkara kepada penyidik dengan pembatasan perbaikan hanya 1 (satu) kali”.
Kedudukan Hukum
Hakim Konstitusi Saldi dalam nasihat Hakim Panel menanggapi permohonan Pemohon untuk perlu memperhatikan penajaman dan penyederhanaan pada bagian kedudukan hukum. Menurutnya, permohonan masih belum terurai dengan baik kerugian konstitusional yang dialami maupun pasal-pasal dalam konstitusi yang menjadi alasan terjadinya kerugian. Hal ini perlu disederhanakan untuk memperjelas kedudukan hukum Pemohon dalam perkara tersebut.
“Selanjutnya mengenai elaborasi terhadap norma pada perkara ini bertentangan dengan UUD 1945 dapat dimuat dalam alasan mengajukan permohonan, mulai dari penjelasan filosofis hingga perbandingan. Pada permohonan ini banyak pemikiran para ahli. Maka perlu ada dasar filosofisnya dan jika perlu ada risalah pembahasan mengenai pembentukan norma yang diujikan ini,” jelas Saldi.
Berikutnya Hakim Konstitusi Daniel memberikan nasihat agar Pemohon memperbarui PMK 2/2021 yang dapat menjadi pedoman dalam menyempurnakan permohonan. Lalu, Pemohon juga dapat memperhatikan alasan permohonan yang menguraikan pemikiran ahli untuk kemudian dapat memberikan perbandingan yang bisa meyakinkan hakim tentang dasar pemikiran yang disampaikan pada permohonan. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana