JAKARTA, HUMAS MKRI – Sebulan setelah diundangkan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) diuji secara formil ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (16/3/2022) siang. Para Pemohon yang tergabung dalam Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) adalah perseorangan warga negara Indonesia yang dirugikan secara potensial dalam apabila diberlakukan UU IKN. Permohonan yang teregistrasi sebagai Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Abdullah Hehamahua (Pemohon I), Marwan Batubara (Pemohon II), Muhyidin Junaidi, (Pemohon III), dll.
Pemohon diwakili oleh kuasa hukum Viktor Santoso Tandiasa, para Pemohon tidak dapat memberikan pendapat, masukan, saran dan kritik dalam pembentukan UU IKN, dengan proses pembentukan UU IKN yang hanya memerlukan waktu 42 (empat puluh dua) hari dan terlihat terburu-buru, sehingga tidak membuka partisipasi publik secara maksimal sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal di lapangan.
Selain itu, ungkap Viktor, para Pemohon merupakan warga negara dan juga pembayar pajak (tax payer) yang sudah memiliki hak dan yang telah melaksanakan hak pilihnya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam pemilihan umum DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, telah memenuhi syarat dalam melakukan upaya pengujian formil suatu UU terhadap UUD 1945 sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009. Mengenai syarat menjadi Pemohon sebagai pembayar pajak pembayar pajak (tax payer) telah diperkuat kembali dalam Putusan MK Nomor 022/PUU-XII/2014 sesuai dengan adagium ‘no taxation without participation’ dan sebaliknya ‘no participation without tax’.
“Pengujian formil IKN tidak memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 22A UUD 1945 yang merupakan pendelegasian norma kepada ketentuan tersebut dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 6 huruf a, huruf e, huruf s, huruf g UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” kata Viktor kepada Panel Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, lanjut Viktor, UU IKN bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, bertentangan dengan asas kejelasan tujuan karena pembentukan UU IKN tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang berkesinambungan yaitu mulai dari dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan hingga pelaksanaan pembangunan.
“Dengan demikian dapatlah dikatakan UU IKN bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Khususnya bertentangan dengan asas kejelasan tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011,” tegas Viktor.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mempertanyakan permohonan pengujian UU IKN ini. “Saya minta ketegasan kepada para Pemohon, ini pengujian formil atau materiil? Karena ada perbedaan mendasar antara pengujian formil dan materiil. Tapi bisa saja pengujian menyangkut keduanya, baik formil maupun materiil,” ucap Arief.
Karena menurut Viktor, pengujian UU IKN merupakan pengujian formil, maka Arief menasihati agar para Pemohon mempelajari sistematika pengujian formil melalui Peraturan MK. Selain itu para Pemohon agar mencantumkan tambahan Lembaran Negara dalam perbaikan permohonan.
Hal lain, Arief menyampaikan bahwa kedudukan hukum para Pemohon tidak perlu diuraikan lebih jauh karena ini merupakan pengujian formil. “Sebab dalam pengujian formil yang penting adalah bagaimana Pemohon bisa menguraikan hubungan kausalitas atau pertautan antara Pemohon Prinsipal dengan undang-undang yang dimaksud,” jelas Arief.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengamati adanya ambiguitas kedudukan para Pemohon dalam Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN). Manahan menyarankan para Pemohon memberikan penegasan dalam permohonan, apakah sebagai wadah berkumpulnya para advokat atau para Pemohon. “Hal ini perlu lebih dijelaskan lebih detail oleh para Pemohon,” ucap Manahan.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.