JAKARTA, HUMAS MKRI - Undang-Undang Perbankan Syariah telah mengakomodasi prinsip syariah yang telah dipercaya masyarakat melalui Peraturan Jasa Otoritas Keuangan (PJOK). Justru menghilangkakn peran MUI dan menyerahkan pengaturan tentang hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah kepada OJK yang tidak terlegitimasi berdasarkan hukum Islam, akan berdampak pada perubahan makna prinsip syariah. Sehingga, mencermati petitum Rega Felix (Pemohon), Pemerintah memandang permohonan tersebut justru mengaburkan dan menghilangkan prinsip syariah yang telah secara tepat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Heru Pambudi selaku perwakilan Pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (16/3/2022). Dalam permohonan perkara Nomor 65/PUU-XIX/2021 ini, Pemohon mengujikan Pasal 1 angka 12 serta Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah.
“Pengaturan kelembagaan pada pasal a quo, termasuk mengenai pengaturan prinsip syariah berdasarkan fatwa MUI telah memuat kepastian hukum terhadap kegiatan perbankan syariah itu sendiri. Seandainya kewenangan dalam prinsip syariah yang ada pada MUI itu dialihkan pada OJK yang tidak memiliki kompetensi dalam hal tersebut, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghilangkan kekhususan pelaksanaan prinsip hukum syariah,” terang Heru pada sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi.
Lebih rinci Heru menyebutkan UU Perbankan Syariah hanya memuat pokok-pokok penerapan prinsip syariah dalam transaksi perbankan syariah. Mengingat transaksi ekonomi yang terus mengalami perkembangan, maka hal-hal teknisnya secara tepat telah diatur dalam aturan pelaksanaan UU a quo melalui Peraturan OJK tentang penyelenggaraan produk bank umum. Terkait dengan pembuktian hak milik seseorang yang dipertentangkan dengan nonkonvensional yang dijadikan aset penerbitan surat berharga syariah, Pemerintah menilai hal demikian tidak dapat menjadikan UU Perbankan Syariah menjadi inkonstitusional karena di dalamnya terdapat konteks peraturan yang berbeda dan persoalan yang diutarakan Pemohon tersebut juga merupakan permasalahan ranah implementasi. Oleh karenanya, Pemerintah berpendapat karena hal demikian terkait perihal teknis sehingga hak kepemilikan benda dan tanggungannya tersebut dapat diajukan kepada MUI atau OJK.
Sebelum mengakhiri sidang, Ketua MK Anwar Usman menginformasikan sidang berikutnya akan pada Kamis, 11 April 2022 pukul 10.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan selaku Pihak terkait dalam permohonan perkara ini.
Baca juga:
Menguji Ketentuan Penetapan Prinsip Perbankan Syariah
Pemohon Perbaiki Uji Materi UU Perbankan Syariah
DPR Jelaskan Kewenangan MUI Menerbitkan Fatwa Usaha Perbankan Syariah
Untuk diketahui, permohonan Nomor 65/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian materiil UU Perbankan Syariah diajukan oleh Rega Felix. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (6/1/2021), Rega Felix mengatakan telah mengalami kerugian konstitusional karena tidak mendapatkan hak akibat pengaturan perbankan syariah yang dinilainya tidak jelas. Hal ini diakibatkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah karena memberikan delegasi blangko kepada MUI maupun BI/OJK. Akibatnya, terjadi disharmoni pengaturan perbankan syariah dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurut Rega, UU Perbankan Syariah secara umum hanya mengatur soal kelembagaan perbankan syariah, tetapi prinsip-prinsip yang ada dalam transaksi perbankan syariah (secara khusus prinsip hak milik) tidak diatur. Sehingga, detail prinsip syariah yang semestinya diatur dalam tingkat UU tidak diatur dalam UU Perbankan Syariah, melainkan melalui Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) UU Perbankan Syariah didelegasikan kepada MUI untuk ditetapkan dalam fatwa yang kemudian diterangkan dalam peraturan BI atau OJK setelah berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Akibat penafsiran yang ambigu, sambung Rega, menjadikan seolah OJK mempunyai celah untuk tidak mengatur dalam POJK. Akibat delegasi blangko dan dualisme kewenangan ini menyebabkan persepsi di masyarakat adanya dikotomi antara negara dan hukum agama hingga timbul persepsi “lebih baik ikuti hukum agama daripada hukum negara”. Di sisi lain, praktik bank syariah adalah praktik riba terselubung yang sama saja dengan bank konvensional. Hal tersebut karena dalam hukum negara banyak pertentangan.
Menurut Rega, hal tersebut harus diperbaiki. Sebab jika tidak, pada akhirnya perbankan syariah yang telah tumbuh akan roboh akibat tidak mempunyai pondasi hukum yang kuat. Ini tentu merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai nasabah perbankan syariah.
Selain itu, Rega juga menjelaskan, Pasal 26 UU Perbankan Syariah “memaksa” MUI maupun BI/OJK untuk mengatur materi muatan yang seharusnya diatur di dalam undang-undang.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan terhadap UU Perbankan Syariah khususnya mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah atau melakukan pembentukan undang-undang yang di dalamnya mengatur mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur Rosihin Ana.
Humas: Tiara Agustina.