JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada Rabu (9/3/2022) siang. Agenda sidang Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi Pemohon.
Baca juga: Menyoal Hilangnya Peran Pemerintah Daerah dalam UU Minerba
Permohonan pengujian materiil UU Minerba dan UU Cipta Kerja ini diajukan oleh 4 (empat) Pemohon yaitu Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim), Nurul Aini dan Yaman yang merupakan seorang Petani dan Nelayan.
Baca juga: Pemohon Uji UU Minerba dan UU Cipta Kerja Perbaiki Permohonan
Dalam sidang tersebut, saksi Pemohon bernama Ali Fahmi mengatakan saat ini semua perundang-undangan sudah ditarik ke pusat. Kewenangan daerah, kabupaten maupun provinsi sudah tidak ada lagi.
“Karena kan sudah ditarik ke pusat, dalam menyampaikan aspirasi terutama warga yang ada di Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan umumnya di Kalimantan Selatan ini sangat susah. Karena yang tahu daerah itu adalah masyarakat di daerah ini,” jelas Ali Fahmi, yang merupakan pensiunan pegawai negeri sipil.
Menurut Fahmi, di daerah sudah tidak ada lagi pengawasan. Semua pengelolaan tergantung pusat. Fahmi pun mengungkapkan terjadinya penolakan oleh warga terhadap pertambangan di daerah Hulu Sungai Tengah. Mereka pernah didatangi oleh pihak perusahaan, mereka dipukul dan berurusan dengan pihak kepolisian.
Baca juga: DPR Bantah Adanya Pengurangan Kewenangan Pemda Terkait Izin Usaha Pertambangan
Selanjutnya kesaksian Anggi Maisa, seorang nelayan dan kepala lingkungan. Anggi mengatakan mendapatkan informasi ada pertambangan biji timah di tempatnya melaut. “Kami sudah melakukan penolakan ke pemerintah, ke kantor timah pernah mengadu ke gubernur, tapi gubernur bilang tidak ada wewenang untuk mencabut izin pertambangan tersebut. Anggi pun mengaku tidak berani lagi menyampaikan aspirasi penolakan pertambangan di Bangka Belitung karena takut terkena sanksi Pasal 162 UU Cipta Kerja.
“Karena kami takut terjerat Pasal 162, padahal kami di sini sangat bergantung kepada laut kami, mata pencaharian kami sebagai nelayan, Pak. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Karena ada Pasal 162, ya, jadi masyarakat kami pun bungkam, diam, takut, mau menyampaikan aspirasi penolakan kami, kami tidak berani lagi. Karena kami takut terpidana, Pak. Kami sudah enggak bisa enggak bisa melakukan advokasi penolakan lagi, kami sudah melakukan penolakan di kantor Timah-nya sendiri, kantor PT Timah-nya sendiri masih saja tidak digubris permohonan kami untuk meminta jangan melakukan pertambangan di area tangkap nelayan di perairan Matras, Pak,” terangnya.
Baca juga: Pemerintah: Perubahan UU Minerba untuk Perbaiki Sektor Pertambangan
Direktur Eksekutif WALHI Bengkulu Periode 2021-2025, Abdullah Ibrahim Ritonga dalam kesaksiannya mengatakan tahun 2008 sampai 2010, terdapat pertambangan pasir besi yang terdapat di pesisir barat Kabupaten Seluma. Namun aktivitas pertambangan berhenti karena masyarakat melakukan penolakan secara besar-besaran, baik di tingkat pemda kabupaten kemudian di pemda provinsi.
“Pada November 2021, PT Faming Levto Bakti Abadi kembali melaksanakan rencana aktivitas pertambangan pasir besi dengan luasan 168 ha, panjang kawasan operasi produksinya sekitar 2.400 meter, kemudian mengarah ke daratan 350 meter dan mengarah ke lautan 350 meter. kemudian WALHI Bengkulu tanggal 18 Desember 2021 menyampaikan laporan ke Polda Bengkulu terkait dugaan aktivitas ilegal pertambangan pasir besi PT Faming Levto Bakti Abadi. Di dalam laporan kita, ada beberapa poin yang kita sampaikan,” kata Abdullah.
Baca juga:
Ahli: UU Minerba Kriminalisasi Pembela HAM
Ahli: Pengelolaan Pertambangan oleh Pemerintah Pusat adalah Kemunduran
Untuk diketahui, permohonan perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh 4 (empat) Pemohon yaitu Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim), Nurul Aini dan Yaman yang merupakan seorang petani dan nelayan.
Para Pemohon menguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Materi yang diujikan yakni Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17 ayat (2), Pasal 17A ayat (2), Pasal 21, Pasal 22A, Pasal 31A ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40 ayat (5) dan (7), Pasal 48 huruf a dan b, Pasal 67, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 93, Pasal 105, Pasal 113, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 140, Pasal 142, Pasal 151, Pasal 162 juncto Pasal 39 UU Cipta Kerja. Kemudian, Pasal 169A ayat (1), Pasal 169B ayat (3), Pasal 169C huruf g, Pasal 172B ayat (2), Pasal 173B, Pasal 173C UU Minerba.
Para Pemohon menilai Pasal-pasal tersebut multitafsir sehingga merugikan hak konstitusional para Pemohon. Untuk itu, Pemohon meminta Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut.
Menurut para Pemohon, penghapusan frasa “dan/atau pemerintah daerah’’ dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU a quo telah merendahkan harga diri masyarakat daerah akibat terbatas atau hilangnya ruang partisipasi yang bermartabat bagi mereka dalam ikut menentukan masa depannya, serta berpotensi memandulkan daya prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat di daerah, melemahkan tanggung jawab daerah dalam membangun wilayah dan masyarakatnya. Akhirnya semua tergantung pada perhatian dan “anugerah” pemerintah pusat.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.