JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) yang dimohonkan oleh Bupati Frans Manery dan Wakil Bupati Muchlis Tapi Tapi dari Kabupaten Halmahera Utara. Sidang perdana Perkara Nomor 18/PUU-XX/2022 digelar pada Selasa (8/3/2022) di Ruang Sidang Pleno MK secara daring. Pasangan kepala daerah ini mendalilkan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.
Dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Arief Hidayat tersebut, Ramli Antula selaku salah satu kuasa hukum para Pemohon menjabarkan alasan permohonannya. Sebagai pasangan kepala daerah seharusnya dilantik untuk masa jabatan lima tahun sejak dilantik pada 9 Juli 2021. Masa jabatan ini, sambungnya, mestinya berakhir pada 9 Juli 2026, bukan pada 2024 mendatang sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada tersebut. Sebab, jika mengacu pada ketentuan tersebut maka masa jabatan para Pemohon hanya 3 tahun 5 bulan.
“Keberlakuan norma Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan tahun 2020 yang menjabat sampai dengan tahun 2024 yang pada pokoknya mengatur tentang berakhirnya masa jabatan bupati dan wakil bupati hasil pemilihan tahun 2020 secara faktual maupun potensial berdasarkan penalaran hukum yang wajar, mereduksi masa jabatan Para Pemohon sebagai bupati dan wakil bupati, berdasarkan Pasal 162 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,” ujar Ramli.
Menurut para Pemohon, ada inkonsistensi norma antara ketentuan Pasal 201 ayat (7) dengan pasal 162 ayat (2) UU Pilkada mengakibatkan terjadinya tumpang tindih norma yang mengatur masa jabatan dalam batang tubuh UU Pilkada.
“Dengan dibatalkannya atau paling tidak ditafsirkannya Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 sepanjang terkait dengan masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati sesuai dengan ketentuan Pasal 162 ayat (2) UU 10/2016 dan pasal 60 ayat (2) UU 23/2014, maka potensi kerugian hak konstitusional para Pemohon dapat dihindari,” sebut Ramli dalam sidang yang diikutinya secara daring.
Tidak Diatur Rigid
Dalam nasihat hakim panel, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebut bahwa Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 201 ayat (7) UU UU Pilkada yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Namun menurut pandangan Arief, ketentuan pemilihan umum lima tahun sekali sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 Ayat (3) UUD 1945, berlaku untuk anggota DPRD dan bukan untuk pemilihan kepala daerah seperti bupati/wakil bupati serta walikota/wakil walikota sebagaimana dipahami para Pemohon.
“Jadi, yang mempunyai masa jabatan 5 tahun secara pasti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah DPRD, Pasal 18 Ayat (3). Sedangkan bupati, wali kota, gubernur, wakil gubernur masa jabatannya tidak diatur secara rigid 5 tahun di Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Masa jabatan itu diatur dalam undang-undang. Sekarang undang-undang itu diubah. Dalam keadaan normal, masa jabatannya 5 tahun itu di Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Tetapi karena mau ada Pemilu serentak, maka ada peraturan yang khusus. Tidak memberi jabatan 5 tahun, tapi jabatannya bersama-sama selesai pada tahun 2024 pada waktu diadakan Pilkada serentak,” jelas Arief.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin dalam nasihatnya menambahkan agar para Pemohon menyempurnakan bagian penulisan undang-undang. Sebab norma yang dimohonkan oleh para Pemohon tersebut berada dalam konstruski perundang-undangan pada Bab Peralihan. Oleh sebab itu, pihaknya diminta untuk memahami rumusan suatu ketentuan peralihan, yang di dalamnya mengatur mekanisme transisional untuk menghidari kekosongan hukum. Selanjutnya, Wakil Ketua MK Aswanto menyinggung tentang legal standing para Pemohon yang menyebutkan alasan sebagai tax payer. Menurut Aswanto, hal tersebut berkaitan dengan UU Keuangan Negara, sehingga diminta agar para Pemohon melihat kembali putusan-putusan MK lainnya yang berkaitan dengan penggunaan dan penempatan alasan seperti pada permohonan para Pemohon agar tidak keliru mengutip putusan MK yang dikaitkan dengan suatu pelanggaran hak konstitusional oleh sebuah norma. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.