JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wapres yang termuat dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini sejumlah wiraswasta dan ibu rumah tangga (IRT) mendalilkan jika Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 13/PUU-XX/2022 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Senin (7/3/2022) secara daring.
Di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Enny Nurbaningsih tersebut, Endang Wuryaningsih yang juga merupakan Pemohon Prinsipal menyebutkan ketentuan pasal tersebut melanggar hak konstitusional partai politik dalam menyediakan dan menyeleksi sebanyak-banyak calon pemimpin masa depan.
Lebih Lanjut Endang mengatakan jika secara konseptual konstruksi normatif dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 meletakkan dua kepentingan secara bersamaan, yakni hak untuk memilih dan hak untuk dipilih sebagai warga negara. Sehingga, ketentuan pasal tersebut berkorelasi dengan terlanggarnya hak konstitusional para Pemohon dalam hal mendapatkan sebanyak-banyaknya pilihan pemimpin yang akan menyelenggarakan pemerintahan pada pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2024 nanti.
“Sejatinya, partai politik hanyalah kendaraan bagi para calon presiden dan wakil presiden, sedangkan penerima manfaat utama dari penyelengggaraan pemilihan tersebut adalah warga negara, termasuk para Pemohon,” sebut Endang yang menghadiri persidangan secara daring bersama dengan para Pemohon lainnya, yakni Syafril Sjofyan, Tito Roesbandi, Elyan Verna Hakim, Ida Farida, Neneng Khodijah, dan Lukman Nulhakim.
Berikutnya, Endang mengatakan jika berpedoman pada Putusan MK Nomor 74/PUU-XVIII/2020 lalu, yang oleh empat hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda. Menurut para hakim tersebut hak yang diberikan konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional tidak boleh dihilangkan/direduksi dalam peraturan yang lebih rendah. Dengan demikian, ketentuan yang ada pada Pasal 222 UU Pemilu yang menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Sehingga sudah seharusnya pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum secara mengikat.
Uraian-Uraian Baru
Terkait permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan beberapa nasihat mulai dari format pengajuan undang-undang, peraturan MK terbaru tentang hukum beracara, identitas para Pemohon yang harus dijelaskan secara baik, kedudukan hukum para Pemohon yang harus diperhatikan secara lebih jelas, hingga syarat-syarat kerugian konstitusional para Pemohon.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Manahan menyebutkan agar para Pemohon menyempurnakan tentang kedudukan hukum dan kerugian konstitusional para Pemohon. Sehingga para hakim konstitusi menjadi yakin dengan kerugian yang diderita para Pemohon, baik potensial maupun faktual. “Misalnya menjelaskan pernah melakukan pemilihan di mana dan hal-hal yang terkait dengan penggunaan hak konstitusional tersebut,” jelas Manahan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief menyarankan agar para Pemohon mencermati Putusan MK Nomor 66/PUU-XIX/2021 terdahulu yang telah diputus MK dengan pokok perkara yang sama. Mengingat pada putusan tersebut, tercakup beberapa pertimbangan hukum para hakim konstitusi secara lengkap. Hal ini agar permohonan para Pemohon kali ini tidak bersifat nebis en idem dan dapat menguraikan uraian-uraian baru terhadap hal yang didalilkan.
“Kalau ada penjelasan dan narasi yang meyakinkan, baik pada pokok permohonan maupun legal standing. Harap membaca putusan perkara terbaru agar Mahkamah dapat mengubah pendiriannya, setelah para Pemohon membaca dan mendalami Putusan MK Nomor 66/PUU-XIX/2021,” kata Arief. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana