JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan “pihak yang berwenang” untuk membantu dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia, yakni pengadilan negeri sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia). Demikian termaktub dalam Putusan Nomor 71/PUU-XIX/2021 yang dibacakan dalam sidang pengucapan putusan pada Kamis (24/2/2021). Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh pasangan suami istri, Johanes Halim dan Syilfani Lovatta Halim.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk Sebagian. Menyatakan frasa ‘pihak yang berwenang’ dalam Penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘pengadilan negeri’,” ucap Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh enam hakim konstitusi lainnya.
Pemohon mendalilkan Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 30 UU 42/1999 beserta Penjelasannya. Pemohon beralasan karena norma a quo tidak terlepas dari pengujian Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang telah diputus oleh Mahkamah Kontitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUUXVII/2019, bertanggal 6 Januari 2020 dan telah ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 bertanggal 31 Agustus 2021.
Terkait dalil Pemohon tersebut, Wakil Ketua MK Aswanto yang membacakan pertimbangan hukum menyebutkan, bahwa dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021, Mahkamah telah jelas menguraikan mengenai prosedur penyerahan objek fidusia. Maka, kekhawatiran para Pemohon mengenai akan timbulnya eksekusi secara sepihak atau penarikan semena-mena yang dilakukan oleh kreditur, tidak akan terjadi. Sebab, Mahkamah juga telah mempertimbangkan mengenai tata cara eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang diatur dalam ketentuan lain dalam UU 42/1999 agar disesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.
Artinya, lanjut Aswanto, putusan a quo berkenaan dengan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) tidaklah berdiri sendiri karena ketentuan pasal-pasal lain dalam UU 42/1999 yang berkaitan dengan tata cara eksekusi harus pula mengikuti dan menyesuaikan dengan putusan a quo, termasuk ketentuan Pasal 30 UU 42/1999 beserta Penjelasannya. Dengan demikian, pihak kreditur tidak dapat melakukan eksekusi sendiri secara paksa misalnya dengan meminta bantuan aparat kepolisian, apabila mengenai cidera janji (wanprestasi) oleh pemberi hak fidusia (debitur) terhadap kreditur yang masih belum diakui oleh debitur dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia.
“Dalam hal ini, Mahkamah telah menegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 bahwa kreditur harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri,” terang Aswanto.
Baca juga:
Alami Eksekusi Sepihak dan Penahanan, Suami-Istri Uji UU Jaminan Fidusia
Polisi Bukan Eksekutor
Aswanto melanjutkan, berkaitan dengan eksekusi jaminan objek fidusia, perjanjian fidusia adalah hubungan hukum yang bersifat keperdataan (privat). Oleh karena itu, lanjutnya, kewenangan aparat kepolisian hanya terbatas mengamankan jalannya eksekusi bila diperlukan, bukan sebagai bagian dari pihak eksekutor, kecuali ada tindakan yang mengandung unsur-unsur pidana maka aparat kepolisian baru mempunyai kewenangan untuk penegakan hukum pidananya. Oleh karena itu, sambungnya, berkenaan dengan frasa “pihak yang berwenang” dalam Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 adalah dimaknai “pengadilan negeri” sebagai pihak yang diminta bantuan untuk melaksanakan eksekusi tersebut.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Aswanto menambahkan, dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 30 UU 42/1999 telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan menghilangkan hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabat sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
“Sedangkan, terhadap dalil para Pemohon berkenaan dengan Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan menghilangkan hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabat sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tandas Aswanto.
Baca juga: Istri Pemohon Uji UU Fidusia Pertegas Kedudukan Hukum
Sebelumnya, para Pemohon menguji Pasal 372 KUHP dan Pasal 30 UU Jaminan Fidusia yang dinilai tidak memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Sebab berpedoman dari Putusan MK Nomor18/PUU-XVII/2019, yang pada intinya menyatakan penilaian cidera janji harus atas dasar kesepakatan debitur termasuk pula terhadap jaminan fidusia yang ingin dieksekusi harus pula diserahkan secara sukarela. Namun jika debitur keberatan, maka kreditur tidak berhak melakukan eksekusi kecuali atas upaya hukum yang menyatakan debitur telah cidera janji.
Lebih lanjut Eliadi menceritakan para Pemohon justru mengalami eksekusi sepihak yang dilakukan oleh pihak BCA Finance dengan mengambil STNK dan kunci asli dari mobil Toyota Voxy (objek jaminan fidusia). Diakui para Pemohon, pihaknya telah memperoleh Surat Persetujuan Relaksasi untuk penundaan pelunasan cicilan dari jaminan fidusia dan telah pula mengajukan relaksasi kedua kalinya mengingat kondisi ekonomi yang sulit karena dampak pandemi Covid-19. Namun parahnya, pihak BCA Finance justru mempidanakan Pemohon I hingga akhirnya ditahan di Polda Metro Jaya.(*)
Penulis: Lulu Anjarsari
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.