JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perbaikan permohonan Nomor 8/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) secara virtual pada Rabu (23/2/2022). Permohonan ini diajukan oleh 27 orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di 12 negara.
Kuasa hukum para Pemohon, Raziv Barokah menyampaikan perbaikan permohonan. Di antaranya mengenai identitas para Pemohon, uraian tentang pengalaman dukungan minoritas parlemen dalam sistem presidensial di beberapa negara.
“Yang pertama adalah usulan untuk mengubah atau memperbaiki mengenai pencantuman Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan seterusnya. Hal itu sudah kami lakukan perbaikannya, itu bisa dilihat dalam halaman 3 sampai halaman 5 mengenai identitas para Pemohon,” kata Raziv kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Para Pemohon juga melakukan perbaikan dengan mencantumkan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) terbaru. Selain itu, terdapat perbaikan terkait contoh pengalaman dukungan minoritas parlemen dalam sistem presidensial di negara lain yang lebih dekat pengalamannya dengan Indonesia.
“Perbaikannya sudah kami tambahkan dalam angka 78 halaman 32, Yang Mulia. Kami membawa pengalaman Indonesia sendiri pada tahun 2004 saat Partai Demokrat memenangi pilpres. Saat itu wakil presiden terpilih tidak mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen, namun berhasil menjalankan pemerintahan dengan lancar. Pada perjalanannya, secara alamiah dukungan parlemen lambat laun terbentuk dengan sendirinya,” jelas Raziv.
Terdapat juga perbaikan terkait contoh sistem kepartaian yang dianut dari masing-masing negara. Misalnya, tabel tambahan dari negara-negara yang menganut sistem multipartai, termasuk kondisi faktual multipartai di negara-negara tersebut.
Baca juga:
WNI di 12 Negara Uji Ketentuan "Presidential Threshold"
Untuk diketahui, permohonan Nomor 8/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diajukan oleh oleh 27 orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di 12 negara. Mereka antara lain, Tata Kesantra, Ida Irmayani, Sri Mulyanti Masri. Para Pemohon memiliki hak memilih sekaligus hak untuk dipilih dalam Pemilu.
Adapun materi yang diuji di MK yaitu Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua 5 puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya pasal tersebut. Paling tidak, terdapat lima kerugian baik potensial maupun aktual yang dialami para Pemohon, yaitu tidak dapat memilih kandidat yang lebih banyak dan lebih selektif; terhambat menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden; tidak mendapatkan keadilan dan akses yang sama dalam proses berpemilu; terhambat untuk memajukan diri dalam memperjuangkan pembangunan masyarakat, bangsa dan negara; menimbulkan polarisasi di masyarakat sehingga menimbulkan pertikaian.
Selain itu, para Pemohon juga meminta agar MK mengubah sikapnya terkait putusan MK mengenai threshold. Menurut para Pemohon, soal threshold tidak bisa dikatakan sebagai open legal policy.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Humas: Raisa Ayuditha
Editor: Nur R.