JAKARTA, HUMAS MKRI – Pasal 4 ayat (2) Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 2020 mengatakan, penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan undang‑undang ini. Hal ini bermakna bahwa hanya pemerintah pusat saja yang mempunyai kewenangan dalam hal penguasaan mineral dan batubara. Sementara dalam undang‑undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menyatakan, penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
“Jelas di sini ada keterlibatan pemerintah daerah dalam hal penguasaan mineral dan batubara,” kata Franky Butar-Butar selaku ahli Pemohon.
Franky menyatakan hal tersebut dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Sidang Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 ini digelar pada Senin (21/2/2022) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) secara virtual.
Franky Butar-Butar yang juga menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia, Universitas Airlangga, lebih lanjut mengatakan, ketika undang‑undang ini hanya diberikan kewenangan pengawasan pemerintah pusat, maka hal ini akan menyimpan ketidakpercayaan masyarakat di daerah dan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
“Deotonomisasi atau penarikan kewenangan itu ke pusat itu, terkait dengan ruang pertambangan adalah suatu kemunduran dalam pengelolaan pertambangan karena akan membatasi, bahkan menghilangkan akses terhadap informasi, partisipasi dari masyarakat. Selain itu, menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat dan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat,” pungkas Franky.
Baca juga:
Menyoal Hilangnya Peran Pemerintah Daerah dalam UU Minerba
Pemohon Uji UU Minerba dan UU Cipta Kerja Perbaiki Permohonan
DPR Bantah Adanya Pengurangan Kewenangan Pemda Terkait Izin Usaha Pertambangan
Pemerintah: Perubahan UU Minerba untuk Perbaiki Sektor Pertambangan
Ahli: UU Minerba Kriminalisasi Pembela HAM
Untuk diketahui, permohonan perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh 4 (empat) Pemohon yang terdiri dari Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Pemohon I, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) sebagai Pemohon II, Nurul Aini, sebagai Pemohon III, dan Yaman sebagai Pemohon IV yang merupakan seorang Petani dan Nelayan.
Pemohon menguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja, yakni Permohonan Pengujian Materiil Ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17 ayat (2), Pasal 17A ayat (2), Pasal 21, Pasal 22A, Pasal 31A ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40 ayat (5) dan (7), Pasal 48 huruf a dan b, Pasal 67, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 93, Pasal 105, Pasal 113, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 140, Pasal 142, Pasal 151, Pasal 162 (juncto Pasal 39 UU Cipta Kerja), Pasal 169A ayat (1), Pasal 169B ayat (3), Pasal 169C huruf g, Pasal 172B ayat (2), Pasal 173B, Pasal 173C UU Minerba.
Menurut para Pemohon, pasal-pasal tersebut multitafsir sehingga merugikan hak konstitusional para Pemohon. Oleh karena itu, para Pemohon meminta Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.