JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perbaikan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (9/2/2022). Permohonan perkara Nomor 10/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Victor Santoso Tandiasa, Muhammad Saleh, dan Nur Rizqi Khafifah.
Eliadi Hulu selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Misalnya dalam kewenangan Mahkamah, Pemohon menambahkan materi muatan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keberlakuan materi muatan UU Cipta Kerja semakin diperkuat oleh Putusan MK Nomor 64/PUU-XIX/2021. MK dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor Nomor 64/PUU-XIX/2021 menyatakan, walaupun Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU Cipta Kerja adalah inkonstitusional bersyarat, namun pengujian materiil masih dapat dilakukan disebabkan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai ada perbaikan formil selama masa tenggang waktu dua tahun. Masa dua tahun tersebut adalah masa perbaikan formil. “Hal itu disebabkan karena dalam masa perbaikan formil tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang‑undang,” jelas Eliadi.
Sementara Pemohon Prinsipal Viktor Santoso Tandiasa menjelaskan, meski selama masa tenggang waktu dua tahun Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan, kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru, namun dalam praktiknya pemerintah malah semakin banyak melakukan tindakan atau kebijakan, serta mengeluarkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Baca juga:
Ketentuan UU AP dalam UU Cipta Kerja Dinilai Hilangkan Kewenangan Pengadilan
Sebagaimana diketahui, permohonan perkara Nomor 10/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Victor Santoso Tandiasa (Pemohon I), Muhammad Saleh (Pemohon II), Nur Rizqi Khafifah (Pemohon III) yang berturut-turut berprofesi sebagai advokat, peneliti PSHK, dan mahasiswa. Para Pemohon mengujikan Pasal 53 ayat (4) UU AP sebagaimana termuat dalam Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja.
Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja menyatakan, “Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.”
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK, Kamis (27/1/2022) Parningotan Malau selaku kuasa hukum para Pemohon menjelaskan, ketentruan pasal tersebut merugikan Pemohon I karena tidak dapat menerima putusan penerimaan permohonan yang diajukan pada Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkum HAM untuk memperoleh diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Sebab, norma tersebut telah menghilangkan kewenangan pengadilan untuk memberikan putusan atas permohonan yang dianggap dikabulkan secara hukum.
Sementara terhadap Pemohon II dan III, norma Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja berpotensi menghalangi hak konstitusionalnya karena sebagai bagian dari warga negara yang memiliki perhatian pada persoalan administrasi pemerintahan. Tiadanya kewenangan pengadilan yang berkaitan dengan upaya hukum Fiktif Positif berdampak pula pada tugas advokasi yang ditekuninya.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.