JAKARTA, HUMAS MKRI - APBN dan APBD sama-sama digunakan untuk tujuan bernegara sehingga alokasinya sejalan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Tidak adanya perbedaan tujuan antara keduanya pada hakikatnya karena prinsip konsep pengelolaan keuangan negara dan daerah yang tidak berdiri sendiri-sendiri. Dengan demikian tercipta wujud kesatuan arah anggaran serta pengelolaan tujuan negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal tersebut disampaikan oleh Dian Puji N. Simatupang selaku Ahli yang dihadirkan Pemerintah/Presiden dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN), Rabu (9/2/2022).
Perkara Nomor 27/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia dan tiga orang warga. Dalam dalil perkara ini, para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN.
Baca juga: Komponen Cadangan Pertahanan Negara dalam UU PSDN Diuji
Lebih lanjut Dian menyebutkan jika APBN dan APBD merupakan sinergisitas dari harmonisasi yang mencerminkan integrasi keuangan negara dan daerah yang didasarkan pada tujuan prioritas nasional. Sehingga penggunaan dana perimbangan daerah digunakan untuk peningkatan kapabilitas daerah untuk pertahanan negara sepanjang diatur untuk urusan daerah. Sementara itu, pendanaan dalam APBD untuk pengelolaan pertahanan dan keamanan negara sejatinya menggunakan skema dekonsentrasi pendanaan tetap dari APBN yang dialokasikan ke APBD.
“Sehingga kata pendanaan pada UU a quo bermakna penyediaan sumber daya keuangan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara tetap harus memperhatikan perimbangan keuangan pusat dan dareah. Dengan demikian, ketentuan UU quo tetap berdasarkan pada kemampuan fiskal daerah,” jelas Dian yang merupakan Dosen Ilmu Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia tersebut.
Baca juga: DPR: UU Pertahanan Negara Tidak Hanya Mengatur Ancaman Militer dan Nonmiliter
Perekrutan Masyarakat
Pada kesempatan berikutnya, Guru Besar Ilmu Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana juga dihadirkan dalam sidang dengan mengetengahkan keterangan terkait basis dalam hukum internasional terkait pemberlakukan UU PSDN dalam pembentukan komponen cadangan. Berpedoman pada hukum internasional, Hikmahanto mengatakan jika PBB mengakui bahwa perang tidak boleh lagi dalam hal kepentingan agresi dan ekspansi. Sebab, berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB dikatakan serangan senjata dapat terjadi dan negara yang diserang mempunyai hak untuk membela diri. Negara yang diserang tersebut pun tidak harus berperang sendiri, sebab nantinya Dewan keamanan PBB akan memandatkan pada negara-negara lain untuk melakukan serangan balasan pada negara yang melakukan serangan.
Dalam aturan ini, sambung Hikmanto, menyiratkan di era modern bukan berarti tak ada perang. Negara-negara manapun tetap berhak untuk mempersiapkan diri dengan serangan yang mungkin saja dilakukan negara lain. Maka sejatinya tidak ada ketentuan hukum internasional yang mengatur mengenai perekrutan untuk mempersiapkan perang. Hal yang ada adalah perekrutan masyarakat untuk anggota yang berperang dengan tiga pilihan, yakni merekrut masyarakat unutk dijadikan tentara profesional; merekrut masyarakat sebagai komponen cadangan; dan merekrut masyarakat dengan mewajibkan dalam waktu yang sempit untuk berlatih militer atau dikenal dengan istilah wajib militer.
Sementara itu berkaitan dengan pembentukan komponen cadangan, Hikmanto berpendapat jika hal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945. Sebab hal tersebut merupakan suatu yang harus dilakukan negara dalam rangka memberikan bekal bagi masyarakat saat keamanan negara dalam keadaan terganggu. “Maka pemerintah dan DPR telah taat asas dalam mempersiapkan hak warga dalam usaha pertahanan dan keamanan negara,” jelas Hikmanto.
Baca juga:
Pandangan Ahli Soal Komput, Komcad, dan Komduk dalam UU PSDN
Najib Azca: Komponen Cadangan Harus Diarahkan Untuk Membantu Komponen Utama
Sebagai informasi, para Pemohon menilai ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU PSDN telah menciptakan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945. Sebab, bersifat mutatis mutandis. Di samping itu, pasal a quo dinilai kabur karena mengatur perihal mobilisasi komponen cadangan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida. Padahal, menurut para Pemohon pada pengaturan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara, telah secara eksplisit memberikan batasan pengerahan komponen cadangan dan komponen pendukung yang semata-mata hanya dapat dimobilisasi menghadapi ancaman militer. Sehingga para Pemohon berpendapat Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), Pasal 79, Pasal 81, dan Pasal 82 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Selain itu, para Pemohon juga beranggapan penyebutan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagai unsur-unsur komponen pendukung dan komponen cadangan dalam pasal-pasal tersebut telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung sebagaimana ditentukan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945. Padahal, rumusan norma dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 bersifat limitatif.
Berikutnya para Pemohon juga menyatakan Pasal 18, Pasal 66 ayat (1), Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 terkait dengan Prinsip Conscientious Objection atau hak menolak warga atas dasar keyakinannya. Menurut para Pemohon, hal ini merupakan prinsip kardinal pelibatan warga sipil dalam upaya-upaya pertahanan yang telah diakui oleh berbagai negara dan masyarakat internasional, serta menjadi bagian dari hukum internasional hak asasi manusia.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: M. Halim