JAKARTA, HUMAS MKRI - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) yang baru diundangkan pada 31 Desember 2021 lalu diuji secara materil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana Perkara Nomor 9/PUU-XIX/2021 tersebut digelar pada Kamis (3/2/2022). Ricki Martin Sidauruk selaku Pemohon mempersoalkan berlakunya kembali ketentuan yang mengatur kewenangan Kejaksaan RI untuk mengajukan peninjauan kembali (PK).
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut, Ricki menyampaikan ketentuan yang mengatur kewenangan Kejaksaan mengajukan PK tersebut tidak hanya bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon untuk memperoleh penegakan hukum yang berkeadilan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dalam kerangka konseptual negara hukum Republik Indonesia. Hal tersebut disampaikan Pemohon dengan mengingat Pasal 30C huruf h Undang‑Undang Kejaksaan yang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk mengajukan PK.
Menurut Ricki, keberadaan aturan itu sesungguhnya telah menyimpangi atau mengesampingkan Putusan MK yang bersifat mengikat secara umum. “Berlakunya pasal a quo berpotensi menimbulkan ketidakpastian atau ambiguitas dalam pelaksanaan PK. Sehingga, hak Pemohon untuk memperoleh jaminan penegakan hukum yang berkeadilan dan berkepastian hukum terlanggar akibat berlakunya Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan,” tegasnya secara daring.
Selain itu, sambung Ricki, pengesampingan Putusan Mahkamah Konstitusi 16/PUU-VI/2008 juga berpotensi menimbulkan ambiguitas dan ketidakpastian hukum pada praktik penegakan hukum. “Apabila ketentuan dalam Pasal 30C huruf h Undang‑Undang Kejaksaan tersebut tetap berlaku, dikhawatirkan menjadi preseden buruk terhadap mekanisme ajudikasi konstitusional sebagaimana Putusan MK yang berlaku umum serta bersifat final and binding, tetapi pada kenyataannya dapat dikesampingkan,” ujar Ricki.
Lebih lanjut, Ricki menyebutkan upaya hukum PK dilandasi filosofi pengembalian hak dan keadilan seseorang yang meyakini dirinya memperoleh perlakuan tidak adil dari negara, dalam hal ini melalui putusan hakim. Pemohon juga berpandangan bahwa pranata PK diadopsi semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya, bukan kepentingan negara ataupun korban.
Sehingga, sambung Ricki, mengesampingkan esensi tersebut mengakibatkan hilangnya makna PK dan berpotensi melanggar prinsip perlindungan hak asasi manusia bagi terpidana. PK dipercaya Pemohon sebagai upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan seorang terpidana atau ahli warisnya karena berhadapan dengan kekuasaan negara. Untuk itu, dalam petitum, MK diminta Pemohon untuk menyatakan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyarankan pemohon untuk melengkapi kewenangan MK dalam permohonan. “Saya mau sarankan untuk dilengkapi lagi di kewenangan. Di Kewenangan Mahkamah itu ada undang‑undang yang baru yang belum Saudara cantumkan ,” ujar Manahan. Selain itu, Manahan juga meminta pemohon melengkapi identitas pemohon yang terdapat dalam kedudukan hukum.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta pemohon mengelaborasi kerugian konstitusional yang dialami baik riil maupun potensial. “Anda ada tidak kerugian riil yang dialami atau setidak-tidaknya potensial? Nah, potensial itu juga tidak kemudian sesuatu yang tidak ada parameternya. Potensial itu Saudara Pemohon juga harus ada bukti permulaan yang cukup tidak hanya semua orang kemudian mendalilkan secara general begitu. Nah, itu yang penting. Karena di Mahkamah Konstitusi untuk mendapat legal standing,” jelas Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyampaikan pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan paling lambat diterima oleh Kepaniteraan MK pada Rabu, 16 Februari 2022. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita