JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), pada Selasa (25/1/2022). Perkara yang diregistrasi Nomor 68/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Bustami Zainudin (Pemohon I/Anggota DPD Periode 2019 – 2024 dari Provinsi Lampung) dan Fachrul Razi (Pemohon II/Anggota DPD RI Periode 2019 – 2024 dari Provinsi Aceh).
Pada sidang perbaikan permohonan ini, Refly Harun selaku kuasa hukum menyampaikan perbaikan yang telah dilakukan pihaknya di hadapan Sidang Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Yakni, kedudukan hukum para Pemohon dan alasan permohonan. Pada permohonan perbaikan ini, kata Refly, para Pemohon menguraikan pendekatan teks, perbandingan, sosiologis, dan sejarah untuk menjabarkan persoalan ketentuan PT pada perkara ini.
Selain itu, sambung Refly, para Pemohon juga menjabarkan beberapa negara yang menggunakan sistem presidensial yang tidak menggunakan ketentuan PT untuk pencalonan presidennya. Lebih lanjut Refly menerangkan untuk pendekatan politik, pihaknya menjelaskan kemungkinan calon presiden tunggal akibat adanya aturan PT ini, sedangkan pendekatan sosiologis menunjukkan telah terjadi pembelahan di masyarakat yang telah terlihat saat Pemilu 2019 yang didominasi oleh dua calon saja.
“Sementara dari sisi sejarah, sepanjang informasi yang ada kami mendapati tidak ada pembahasan mengenai PT sejak dilakukannya amendemen/perubahan konstitusi dari 1999 – 2002. Tidak pernah adanya singgungan tentang PT yang berkaitan dengan pencalonan presiden ini. Ada pun ketentuan PT hanya untuk pemilihan legislatif,” jelas Refly.
Baca juga: Dua Anggota DPD Menguji Konstitusionalitas Ambang Batas Pencalonan Presiden
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Para Pemohon juga membuat kontra argumentasi antara beberapa Putusan MK terkait dengan Pasal 222 UU Pemilu. Nyatanya, tidak benar ketentuan PT tersebut memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Sebab, sistem yang diatur dalam konstitusi sudah sangat kuat dengan tidak adanya lembaga tertinggi negara yang bisa menekan presiden.
Menurut para Pemohon, norma yang diujikan tersebut mengabaikan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan pilihan sebanyak-banyaknya calon presiden dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Berpedoman pada pertimbangan hukum MK pada Putusan MK 53/PUU-XV/2017 yang menggunakan penafsiran sistematis dalam membaca Pasal 6A UUD 1945, aturan presidential threshold (PT) merupakan aturan yang bersifat open legal policy. Penafsiran open legal policy ini menurut para Pemohon tidak tepat dimana dalam UUD 1945 telah ditetapkan pembatasan dan syarat pencalonan. Pemohon meyakini, persyaratan tersebut semestinya digolongkan pada close legal policy. Sementara sesuai preseden Mahkamah, ketentuan tersebut dinyatakan open legal policy.
Berdasarkan Pemilu 2019 telah mengakibatkan para Pemohon akan kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan banyaknya calon pemimpin bangsa yang dihasilkan partai politik peserta pemilu. Mengingat melalui terhubung langsung dengan kepentingan masyarakat, maka partai politik perlu mempertimbangkan aspirasi rakyat/pemilih dalam mengusung calon presiden/wakil presidennya. Persoalannya, ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden ini mengakibatkan tereduksinya fungsi partai politik. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita