JAKARTA, HUMAS MKRI - Sentralisasi dalam hal penguasaan sumber daya mineral dan batu bara bertentangan dengan asas subsidiaritas sehingga menyebabkan kerugian konstitusional bagi masyarakat lokal. Demikian disampaikan oleh I Gusti Agung Made Wardana dalam kapasitasnya sebagai Ahli Pemohon dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Sidang Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 ini digelar pada Rabu (19/1/2022) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) secara virtual.
Gusti yang juga menjabat sebagai Dosen Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada, lebih lanjut mengatakan, melalui jaminan tidak diubahnya pemanfaatan ruang bagi wilayah usaha pertambangan yang telah ditetapkan berakibat tertutupnya ruang partisipasi masyarakat untuk terus memperjuangkan haknya atas ruang hidup yang baik dan sehat. Menurutnya, Pasal 162 UU Minerba telah menjadi instrumen pembungkaman pembela lingkungan hidup dalam hal ini masyarakat yang menolak tambang untuk terus berjuang dan membela lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dilanggar oleh aktivitas pertambangan.
“Pasal 162 UU Pertambangan ini dapat digunakan sebagai upaya untuk kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia yang terkena dampak pertambangan. Selain itu, , pasal tersebut juga dapat menjadi instrumen intimidasi hukum,” papar Gusti di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Sementara Ahli Pemohon berikutnya, Anugerah Rizki Akbari mengatakan dalam Pasal 162 melarang setiap orang merintangi kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi persyaratan. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dipidana dengan hukuman kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.
Anugerah Rizki Akbari yang juga merupakan pengajar sekaligus Ketua Bidang Studi Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera ini juga mengatakan, apabila kita bedah pasal ini, kita bisa menemui sebenarnya yang ingin dilarang oleh pembuat UU adalah merintangi atau menganggu kegiatan usaha pertambangan. Tetapi tidak hanya itu, sambung Rizky, Pasal 162 UU Minerba memberikan konteks terhadap pemenuhan perbuatan yang ingin dilarang dimana pemikiran ini IUP atau IUPK harus memenuhi syarat dalam Pasal 86f huruf p dan 136 ayat (2) UU Minerba yang kalau disederhanakan semua kepada proses penyelesaian hak atas tanah. Menurutnya, dalam Pasal 162 UU Minerba banyak sekali catatan atas perumusannya.
Selain itu, Rizki menyebut rumusan Pasal 162 UU Minerba mampu menimbulkan ketidakadilan dalam tataran implementasi dikarenakan tidak mengikuti teori kriminalitas secara utuh dan tidak memasuki asas-asas hukum pidana secara utuh.
Baca juga:
Menyoal Hilangnya Peran Pemerintah Daerah dalam UU Minerba
Pemohon Uji UU Minerba dan UU Cipta Kerja Perbaiki Permohonan
DPR Bantah Adanya Pengurangan Kewenangan Pemda Terkait Izin Usaha Pertambangan
Pemerintah: Perubahan UU Minerba untuk Perbaiki Sektor Pertambangan
Untuk diketahui, permohonan Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh 4 (empat) Pemohon yang terdiri dari Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Pemohon I, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) sebagai Pemohon II, Nurul Aini, sebagai Pemohon III, dan Yaman sebagai Pemohon IV yang merupakan seorang Petani dan Nelayan.
Pemohon menguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja, yakni Permohonan Pengujian Materiil Ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17 ayat (2), Pasal 17A ayat (2), Pasal 21, Pasal 22A, Pasal 31A ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40 ayat (5) dan (7), Pasal 48 huruf a dan b, Pasal 67, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 93, Pasal 105, Pasal 113, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 140, Pasal 142, Pasal 151, Pasal 162 (juncto Pasal 39 UU Cipta Kerja), Pasal 169A ayat (1), Pasal 169B ayat (3), Pasal 169C huruf g, Pasal 172B ayat (2), Pasal 173B, Pasal 173C UU Minerba. Pasal-pasal tersebut dinilai multitafsir sehingga merugikan hak konstitusional para Pemohon. Untuk itu, Pemohon meminta Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.