JAKARTA, HUMAS MKRI – Para dokter hewan yang mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), menyampaikan perbaikan permohonan dalam sidang yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (18/1/2022) siang secara daring. Sidang perkara Nomor 64/PUU-XIX/2021 ini dilaksanakan oleh panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Putu Bravo Timothy selaku kuasa hukum para menyampaikan perbaikan permohonan antara lain terkait Kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pemohon juga melakukan perbaikan regulasi-regulasi terbaru sebagaimana nasehat panel hakim pada sidang pemeriksaan pendahuluan.
“Selain itu, memperkuat kedudukan hukum para Pemohon dengan menguraikan lebih detail. Khususnya dari Pemohon I yang lebih menguraikan dasar pembentukan badan hukum privat, termasuk anggaran rumah tangga dalam kedudukan hukum,” ujar Putu.
Baca juga:
Dokter Hewan Uji UU Cipta Kerja
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 64/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian materiil UU Cipta diajukan oleh Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (Pemohon I) Jeck Ruben Simatupang (Pemohon II), Dwi Retno Bayu Pramono (Pemohon III), Deddy Fachruddin Kurniawan (Pemohon IV), Oky Yosianto Christiawan (Pemohon V), Desyanna (Pemohon VI). Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (5/1/2022) kuasa hukum para Pemohon, Putu Bravo Timothy, mengatakan para Pemohon melakukan uji materiil Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja mengenai perubahan Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU PKH).
Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Menurut para Pemohon, Perubahan UU PKH dalam UU Cipta Kerja mengalami suatu pergeseran, bahwa setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan, semula wajib memiliki izin usaha, kini wajib memenuhi perizinan berusaha.
“Pergeseran tersebut di atas meskipun terlihat sederhana namun menjadi penghalang dan melanggar hak konstitusional Pemohon II sampai dengan Pemohon V yang senyatanya termasuk sebagai stakeholders atas keberlakuan Pasal 34 angka 16 ayat (2) UU No. 11/2020,” jelas Putu.
Para Pemohon sebagai representasi profesi dokter hewan dan pengguna jasa dokter hewan justru pada akhirnya tidak dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak dengan diberlakukannya Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja manakala “Perizinan Berusaha” mewajibkan persyaratan yang bertolak belakang dengan ide “Kemudahan dalam proses pengajuan perizinan berusaha” dan/atau landasan filosofis Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sebagai landasan filosofis UU Cipta Kerja.
Frasa “Perizinan Berusaha” yang dimaksud Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja adalah perizinan berusaha berbasis risiko. Perizinan berusaha demikian dipandang membawa konsekuensi perizinan berusaha pada subsektor peternakan dan kesehatan hewan mempunyai tingkat risiko dan peringkat skala kegiatan usaha meliputi UMKM dan/atau usaha besar. Sedangkan, kegiatan usaha pada subsektor pertanian dan kesehatan hewan dikategorikan sebagai usaha kecil, maka paling tidak “setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan” dan “tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan” harus memiliki modal usaha lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk memulai dan/atau melanjutkan pekerjaannya.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Humas: Raisa Ayuditha
Editor: Nur R.