JAKARTA, HUMAS MKRI – Fungsi Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f merupakan pengejawantahan Pasal 28, Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28 Ayat (1) dan Pasal 28I UUD 1945. Hal ini disampaikan oleh Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal S Depari dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), pada Selasa (11/1/2022) secara daring.
Atal menyebut dalam praktiknya, PWI sama sekali tidak mengalami kerugian konstitusional maupun kerugian operasional dengan adanya pasal yang diuji oleh Heintje Grontson Mandagie, Hans M Kawengian, dan Soegiharto Santoso tersebut. Keberadaan Dewan Pers justru memberikan banyak kemanfaatan bagi masyarakat pers dan organisasi-organisasi pers termasuk untuk PWI. Sehingga, PWI secara tegas berpendapat tidak perlu ada pemaknaan lain selain yang sudah ada dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut, Atal mengatakan, UU Pers merupakan suatu rumusan yang memberikan kepastian hukum dalam ekosistem hukum pers nasional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Atal juga berpendapat pasal a quo menjadi dasar kuat bagi presiden untuk konsisten menjaga kepastian hukum hanya menetapkan anggota dewan pers yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat pers, ekosistem pers nasional, dan UU Pers. “Sehingga PWI menilai, pasal a quo tidak perlu diberikan makna lain yang mana telah diatur dan dijelaskan sendiri oleh UU Pers,” jelas Atal secara daring.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Fungsi Dewan Pers dalam Menyusun Peraturan
Selain itu, Atal juga menegaskan, UU pers bukan saja merupakan anak dari reformasi, tetapi juga melahirkan arah pers yang merdeka yang kemudian menjadi proses demokrasi itu sendiri di Indonesia. Ia menyebut, UU Pers merupakan salah satu peninggalan reformasi yang paling berharga dan murni. “Disebut paling berharga karena kehadiran UU Pers sampai kini partisipasi publik dalam menjaga demokrasi masih terus berlangsung,” ujarnya menanggapi Perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 tersebut.
Menurut Atal, UU Pers tidak hanya penting buat kalangan pers, melainkan juga penting bagi berbagai kalangan yang berkaitan dengan kegiatan berbangsa dan bernegara khususnya yang menyangkut proses demokrasi. Oleh sebab itu, PWI bukan hanya menyetujui fungsi-fungsi Dewan Pers, tetapi juga selalu mendukung pelaksanaan dari fungsi-fungsi Dewan Pers termasuk dalam memfasilitasi organisasi pers membuat peraturan di bidang pers.
Baca juga: Wartawan Perbaiki Permohonan Uji UU Pers
Fasilitator Organisasi Pers
Pada kesempatan yang sama, LBH Pers yang mewakili Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyatakan pasal a quo yang diujikan tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun, apabila norma pasal tersebut berubah sebagaimana dimintakan Pemohon dalam petitumnya, maka akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuat ketentuan pasal-pasal a quo justru menjadi tidak jelas dan sumir.
Lebih lanjut Ade Wahyudin selaku kuasa hukum menyebut, pasal a quo apabila dilihat menyeluruh, Dewan Pers memiliki fungsi-fungsi untuk memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
“Pasal a quo sebenarnya hanya memberikan kewenangan kepada dewan pers untuk memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers sehingga tidak ada sama sekali ruang dan kesempatan dewan pers untuk melakukan monopoli,” ujar Ade.
Baca juga: Pemerintah: Dewan Pers Berfungsi Sebagai Fasilitator Penyusunan Peraturan Bidang Pers
Sebagai fasilitator, Ade menjelaskan, Dewan Pers diwajibkan adanya ikut serta dari organisasi pers dalam pembentukan peraturan di bidang pers. Sehingga, seandainya ditemukan pembentukan peraturan di bidang pers tanpa ikut serta dari organisasi pers, ada banyak saluran untuk menempuh mekanisme komplain, seperti menyatakan keberatan kepada Dewan Pers, menempuh gugatan tata usaha negara, hingga mengajukan uji materi di Mahkamah Agung.
Ade juga mengatakan, mempermasalahkan pasal a quo dengan membuat Dewan Pers kehilangan fungsinya sebagai fasilitator para organisasi pers dalam pembentukan peraturan di bidang pers merupakan sebuah kesalahpahaman dan kekeliruan yang justru menimbulkan ketidakpastian hukum.
Baca juga: Kekacauan Kemerdekaan Pers Akan Timbul Jika Setiap Organisasi Susun Peraturan
Sebelumnya, para Pemohon menguji fungsi Dewan Pers dalam menyusun berbagai peraturan di bidang pers sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers. Pemohon mendalilkan adanya ketidakjelasan tafsir Pasal 15 ayat (5) UU Pers telah merugikan hak konstitusional para Pemohon. Pemohon yang memiliki perusahaan dan organisasi pers berbadan hukum merasa terhalangi untuk membentuk Dewan Pers independen serta untuk memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers secara demokratis. Tak hanya itu, ketentuan tersebut dinilai Pemohon menyebabkan hak untuk menetapkan dan mengesahkan anggota Dewan Pers yang dipilih secara independen juga terhalangi.
Para Pemohon menyelenggarakan Kongres Pers Indonesia pada 2019 silam yang menghasilkan terpilihnya Anggota Dewan Pers Indonesia. Akan tetapi, karena adanya Pasal 15 ayat (5) UU Pers, hasil Kongres Pers Indonesia tersebut tidak mendapatkan respon dan tanggapan dari Presiden Indonesia. Selain itu, keberadaan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers harus ditinjau kembali. Hal ini karena organisasi-organisasi pers kehilangan haknya dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers. Sebab, lanjutnya, dalam pelaksanaannya, pasal a quo dimaknai oleh Dewan Pers sebagai kewenangannya berdasarkan fungsi Dewan Pers untuk menyusun dan menetapkan peraturan di bidang pers. Sehingga keberlakuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999 bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers” karena membatasi hak organisasi-organisasi pers mengembangkan kemerdekaan pers dan menegakan nilai-nilai dasar Demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers”. Pemohon juga meminta MK untuk menyatakan Pasal 15 ayat (5) Pers bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Keputusan Presiden bersifat administratif sesuai usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers, perusahaan-perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers yang demokratis”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Andhini S.F