JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sidang Perkara Nomor 69/PUU-XIX/2021 tersebut digelar pada Senin (10/1/2022) di Ruang Sidang Pleno MK.
Akan tetapi, dalam sidang perdana tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang memimpin sidang menyebut bahwa Muhtar Said selaku Pemohon tidak menghadiri sidang. Hal tersebut karena Pemohon hendak mencabut permohonannya.
“Sidang ini adalah yang pertama, agendanya meminta pemohon untuk menyampaikan secara lisan permohonannya, karena permohonannya secara tertulis sudah diterima di MK pada Kamis, 23 Desember 2021. Namun demikian, berdasarkan informasi dari Kepaniteraan MK per-sms yang bersangkutan mengatakan pemohon tidak akan hadir karena perkaranya dicabut,” ujar Arief didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan MP. Sitompul.
Selain itu, Arief juga mengatakan, terdapat surat yang telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah tertanggal 23 Desember 2021 pukul 14.12 WIB perihal pencabutan perkara Nomor 69/PUU-XIX/2021. Oleh karena itu, sambungnya, pencabutan secara tertulis dan informasi ketidakhadiran sudah diterima dan disampaikan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
Dalam permohonannya, Pemohon menguji secara formil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menurut Pemohon, ketentuan Pembentukan Undang-Undang secara konstitusional tidak diatur secara lebih terperinci dalam UUD 1945. Dalam Pasal 22A UUD 1945 menyatakan ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang yakni UU 12/2011. Artinya, UUD 1945 hanya mendelegasikan kewenangan konstitusional pembentukan peraturan perundang-undangan kepada UU 12/2011. Sehingga semua pembentukan perundang-undangan harus tunduk pada UU 12/2011 tanpa terkecuali termasuk Omnibus Law.
Kemudian, terhadap pengujian formiil pembentukan Undang-Undang, MK telah mengeluarkan putusan yang mengabulkan uji formiil, perihal Omnibus Law, yaitu Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Pasca Putusan tersebut hingga permohonan ini diajukan, menurut Pemohon, UU 11/2020 belum direvisi untuk mengatur tata cara pembentukan Omnibus Law. Dengan bertolak ukur pada Putusan 91/PUU-XVIII/2020, maka harus dimaknai bahwa Omnibus Law diperkenankan selama tunduk kepada ketentuan dalam UU 12/2011. Sementara, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan ini merupakan undang-undang yang “satu jenis” dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dimatikan oleh MK, yakni sama-sama merupakan Omnibus Law yang tata cara pembentukannya melanggar ketentuan dalam UU 12/2011.
Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka terhadap Pembentukan UU HPP tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-undang berdasarkan UUD 1945 dan UU 12/2011. Sehingga dalam petitumnya pemohon meminta MK untuk menyatakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 dan bertentangan dengan UUD 1945 oleh karena tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: M. Halim