JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemerintah dan DPR menilai perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) penting dilakukan. Hal ini merupakan upaya untuk memperbaiki sektor pertambangan mineral dan batubara serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Demikian disampaikan oleh Ridwan Jamaludin yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam sidang pengujian materiil UU Minerb) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Sidang kelima Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 ini digelar pada Rabu (5/1/2022) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) secara virtual.
“Pemerintah bersama‑sama dengan DPR memandang penting dan perlu untuk melakukan perubahan terhadap Undang‑Undang Nomor 4 Tahun 2009 6 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai upaya untuk memperbaiki sektor pertambangan mineral dan batubara agar dapat lebih memberikan kontribusi nyata bagi negara dan kesejahteraan masyarakat, dimana dalam dalam pelaksanaannya tentu saja mengacu pada asas manfaat, asas adil, dan merata, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, keberpihakan kepada kepentingan bangsa, kepastian hukum, keberpihakan pada kepentingan bangsa, berpartisipasi, transparansi, dan akuntabilitas,” papar Ridwan di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Baca juga: Menyoal Hilangnya Peran Pemerintah Daerah dalam UU Minerba
Tetap Dapat Berpartisipasi
Menanggapi dalil terkait uji materiil Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU Minerba, Ridwan menyebut Pemohon salah mengartikan maksud dari kedua pasal tersebut. Menurutnya, hak konstitusional para Pemohon untuk berpartisipasi dalam memberikan aspirasi terkait pengelolaan sumber daya alam dan minerba.
“Hal ini yang Pemerintah rasa disalahartikan oleh para Pemohon a quo yang menjustifikasi pemberlakuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) Undang‑Undang Minerba serta-merta mengesampingkan hak masyarakat, khususnya hak terdampak untuk turut berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi karena faktanya dengan ditariknya penguasaan mineral dan batubara sama sekali tidak menghilangkan hak masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya,” urai Ridwan.
Baca juga: Pemohon Uji UU Minerba dan UU Cipta Kerja Perbaiki Permohonan
Pemda Tetap Berhak
Ridwan melanjutkan terkait pendelegasian dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, para pemohon telah salah memaknai dan menjustifikasi. Para Pemohon menilai pemerintah daerah telah kehilangan seluruh haknya untuk berkontribusi dalam pengelolaan sumber daya alam dengan diberlakukannya Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU Minerba.
“Para Pemohon juga telah keliru apabila hanya memahami perizinan terkait pertambangan mineral dan batubara hanya sesederhana apa yang dikatakan dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) saja. Bahwa selain daripada itu, jika merujuk kepada ketentuan Pasal 35 ayat (4) Undang-Undang Minerba, sudah sangat jelas diatur bahwa pemerintah daerah tetap dapat menerima kewenangan dalam bentuk pendelegasian untuk menerbitkan sejumlah perizinan tertentu. Di antaranya, izin penambangan batuan,” papar Ridwan.
Baca juga: DPR Bantah Adanya Pengurangan Kewenangan Pemda Terkait Izin Usaha Pertambangan
Sebelumnya, perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh 4 (empat) Pemohon yang terdiri dari Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Pemohon I, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) sebagai Pemohon II, Nurul Aini, sebagai Pemohon III, dan Yaman sebagai Pemohon IV yang merupakan seorang Petani dan Nelayan.
Pemohon menguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja, yakni Permohonan Pengujian Materiil Ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17 ayat (2), Pasal 17A ayat (2), Pasal 21, Pasal 22A, Pasal 31A ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40 ayat (5) dan (7), Pasal 48 huruf a dan b, Pasal 67, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 93, Pasal 105, Pasal 113, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 140, Pasal 142, Pasal 151, Pasal 162 (juncto Pasal 39 UU Cipta Kerja), Pasal 169A ayat (1), Pasal 169B ayat (3), Pasal 169C huruf g, Pasal 172B ayat (2), Pasal 173B, Pasal 173C UU Minerba. Pasal-pasal tersebut dinilai multitafsir sehingga merugikan hak konstitusional para Pemohon. Untuk itu, Pemohon meminta Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini SF