JAKARTA, HUMAS MKRI – Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 91/PUU-XIX/2021 yang dibacakan pada 25 November 2021 silam. Terkait hal tersebut, Mahkamah memutus tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh Heri Susetyo yang berprofesi sebagai peneliti. Demikian Putusan Nomor 46/PUU-XIX/2021 dibacakan pada Rabu (15/12/2021) siang.
“Berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah dinyatakan UU 11/2020 adalah inkonstitusional bersyarat dan putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan. Oleh karena itu, terhadap permohonan pengujian materiil yang diajukan oleh Pemohon a quo tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya, karena objek permohonan yang diajukan Pemohon tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Terlebih lagi, dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, maka dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 54 UU MK tidak terdapat lagi urgensi bagi Mahkamah untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK. Oleh karenanya, terhadap permohonan pengujian materiil UU 11/2020 harus dinyatakan kehilangan objek,” ungkap Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hukum.
Baca juga: UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat, Peneliti Minta Uji Aturan Integrasi ke BRIN Tetap Dilanjutkan
Lebih jelas Enny menyebutkan berkenaan dengan telah diputusnya permohonan pengujian formil terhadap UU Cipta Kerja, maka Mahkamah dalam persidangan pada 7 Desember 2021 dengan agenda Pemeriksaan Persidangan Lanjutan, telah meminta konfirmasi pada Pemohon mengenai kelanjutan permohonan a quo. Terhadap konfirmasi tersebut, Pemohon menyatakan menyerahkan kelanjutan permohonan a quo kepada Mahkamah. UU Cipta Kerja telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengenai pengujian formil UU Cipta Kerja pada 25 November 2021. Oleh karena itu, dengan pertimbangan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan maka permohonan Pemohon dipandang tidak relevan sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
“Amar Putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Anwar Usman selaku pimpinan Sidang Pemgucapan Putusan MK yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK dan diikuti oleh para pihak secara virtual dari kediaman masiing-masing.
Baca juga: Aturan Pengintegrasian Lembaga Riset ke BRIN Digugat
Baca juga: Peneliti yang Menguji Aturan Integrasi Lembaga Riset ke BRIN Perbaiki Permohonan
Dalam permohonannya sebelumnya, Pemohon yang berprofesi sebagai peneliti menganggap hak konstitusionalnya telah dirugikan karena frasa “yang diintegrasikan” pada pasal a quo dianggap multitafsir. Artinya, frasa “yang diintegrasikan” memiliki tafsir tidak jelas apakah hanya terintegrasi koordinasi penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi dan inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional atau peleburan kelembagaan.
Pemohon menyatakan bahwa Pasal 42 UU No. 11/2019 merupakan turunan dari Pasal 13 ayat (2) UU No. 11/2019 secara jelas menyebutkan kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri dari: a. lembaga penelitian dan pengembangan lembaga pengkajian dan penerapan, perguruan tinggi, badan usaha dan lembaga penunjang. Merujuk pada ketentuan tersebut yang dihubungkan dengan koordinasi, maka lembaga-lembaga yang dikoordinasikan adalah sebagaimana ditentukan Pasal 42 UU No. 11/2019. Oleh karena itu, menurut Pemohon apabila dikaitkan dengan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek sebagaimana diubah dalam Pasal 121 UU Cipta Kerja terkait dengan BRIN maka kata “terintegrasi” menimbulkan interpretasi yang beragam yakni apakah diartikan sebagai koordinasi sehingga eksistensi dan fungsi lembaga masih tetap ada sebagaimana Pasal 42 UU Sisnas Iptek ataukah kata “terintegrasi” diartikan sebagai peleburan berbagai lembaga riset pemerintah tersebut menjadi satu lembaga yaitu Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Baca juga: DPR dan Pemerintah Minta Penundaan Sidang Uji UU Sisnas Iptek
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan frasa “terintegrasi” dalam Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek sebagaimana diubah dalam Pasal 121 UU Cipta Kerja, frasa tersebut tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari pasal-pasal sebelumnya dari UU Sisnas Iptek, yaitu Pasal 13, Pasal 42, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 71, dan Pasal 79. Dengan demikian, fungsi pemerintah pusat seharusnya hanya pada fungsi koordinasi. Sebab, dalam UU Sisnas Iptek secara eksplisit telah ditegaskan bahwa BRIN adalah badan pusat dari kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi. Oleh karenanya, BRIN merupakan badan yang melakukan koordinasi terhadap berbagai lembaga yang menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi seperti BATAN, BPPT, LIPI, LAPAN.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: M. Halim