Hoc
JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY). Permohonan diajukan oleh Burhanudin, seorang dosen yang pernah mengikuti seleksi hakim ad hoc di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2016.
“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar Putusan Nomor 92/PUU-XVIII/2020 dalam sidang yang disiarkan secara daring, Rabu (24/11/2021).
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi isra, Mahkamah mengatakan pembentuk undang-undang tidak membedakan antara hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung (MA) sepanjang berkaitan dengan wewenang perekrutan. Hal demikian dapat ditempatkan sebagai kebijakan hukum pembentuk undang-undang untuk memenuhi kebutuhan hukum di tengah masyarakat dalam rangka memberikan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil.
Oleh karena itu, Saldi melanjutkan, wewenang perekrutan hakim ad hoc pada MA berkaitan erat dengan upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim demi tegaknya hukum dan keadilan. Sebab, dengan adanya hakim ad hoc pada MA diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas putusan di MA melalui keahlian khusus yang dimiliki hakim ad hoc.
Sehingga, apabila merujuk pertimbangan tersebut, lanjut Saldi, telah jelas betapa mendasar diperlukannya perisai untuk menegakkan independensi dan imparsialitas hakim guna mewujudkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Dalam konteks itu, seleksi hakim ad hoc di MA oleh KY, harus dilaksanakan secara profesional dan objektif. Menurut Mahkamah, sampai sejauh ini proses seleksi yang menjadi kewenangan KY dalam menyeleksi hakim ad hoc di MA masih diperlukan dan sepanjang ada permintaan dari MA.
Lebih lanjut Saldi mengatakan, secara konstitusional, UUD 1945 telah menentukan desain pengisian hakim agung sebagai jabatan/posisi hakim tertinggi di lingkungan MA dilakukan oleh KY. Dengan merujuk politik hukum pembentukan UU KY, terutama dengan memosisikan hakim ad hoc merupakan hakim di MA, maka proses seleksi hakim ad hoc yang dilakukan KY masih dapat dibenarkan sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, proses seleksi yang dilakukan oleh sebuah lembaga independen yang didesain oleh konstitusi tidaklah bertentangan dengan hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Wewenang KY Pernah DIputus MK
Mahkamah juga mengutip pertimbangan hukum putusan sebelumnya yang berkelindan dengan wewenang KY. Misalnya pertimbangan hukum yang termaktub dalam Paragraf [3.9] dan Paragraf [3.10] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang menyatakan menimbang bahwa frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. UUD 1945 tidak memberi kewenangan kepada pembuat undang-undang untuk memperluas kewenangan KY.
Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015 memang menyatakan frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. Namun, apabila diletakkan dalam konteks substansi Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015, pertimbangan hukum tersebut lebih dimaksudkan ihwal keterlibatan KY dalam proses seleksi calon hakim di lingkungan peradilan di bawah MA, terutama seleksi calon hakim pada pengadilan tingkat pertama. Artinya, pertimbangan hukum dimaksud hanyalah membatasi kewenangan KY dalam proses seleksi calon hakim pada pengadilan tingkat pertama dan bukan dalam seleksi calon hakim agung.
Baca Juga:
Menguji Kewenangan KY Mengusulkan Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Penguji Kewenangan KY Perbaiki Kerugian Konstitusional
Pemerintah Belum Siap, Sidang Uji UU KY Ditunda
Pemerintah, MA, dan KY Tanggapi Soal Kewenangan KY dalam Seleksi Hakim Ad Hoc
DPR: Hakim Ad Hoc di MA Dapat Disamakan Dengan Hakim Agung
Zainal Arifin Mochtar: Peran KY Diamanatkan untuk Mengusulkan Calon Hakim Agung
Ni’matul Huda: Pembentuk UU Berwenang Mengatur Rekrutmen Hakim Ad Hoc MA
Benny K. Harman Ungkap Perdebatan Soal Hakim Ad Hoc Saat Pembahasan UU KY
Untuk diketahui, permohonan uji materi UU KY ini diajukan oleh Burhanudin, seorang dosen yang pernah mengikuti seleksi hakim ad hoc di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2016. Adapun norma yang diujikan yakni Pasal 13 huruf a UU KY.
Dalam persidangan sebelumnya, Zainal Arifin Hoesein selaku kuasa Pemohon mengatakan bahwa Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya frasa “dan hakim ad hoc”. Selain itu, aturan hukum dalam UU a quo yang menyamakan hakim ad hoc dengan Hakim Agung, merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Menurutnya hakim ad hoc pada MA tidak sama dengan hakim agung baik status, fungsi, dan kewenangan yang melekat pada jabatannya. Jabatan hakim ad hoc pada MA tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan jabatan hakim agung. Model seleksi terhadap hakim ad hoc, khususnya Tipikor yang dilakukan oleh MA yang diatur dalam UU Pengadilan Tipikor, sebelum berlakunya ketentuan UU KY, lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan sesuai kompetensi seorang hakim ad hoc di bidang tertentu sebagaimana yang dibutuhkan oleh MA.
Lebih lanjut Zainal menjelaskan, Pengadilan Tipikior bernaung di MA sebagai pengadilan khusus di bawah lembaga peradilan umum. Menurutnya, kebijakan negara dalam menghadapi korupsi yang sudah menjadi kejahatan luar biasa adalah dengan membentuk lembaga negara independen, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Guna mendukung kinerja KPK, sambung Zainal, maka dibentuk pengadilan khusus yang diletakkan pada MA di bawah lembaga peradilan umum.
Ketentuan hakim ad hoc merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan MA baik yang ditentukan dalam UUD 1945 maupun UU Kekuasaan Kehakiman. Dengan adanya ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, maka jelaslah bahwa Pembentuk Undang-Undang secara expressis verbis telah memperluas kewenangan KY yang semula hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung juga mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA. Dengan demikian, memperlakukan seleksi yang sama antara calon hakim MA dengan hakim ad hoc yang memiliki perbedaan baik secara struktural, maupun status merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai keadilan.
Selain itu mendasarkan ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, tanggal 7 Oktober 2015, maka telah ternyata ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY inkonstitusional, sehingga Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY harus bertentangan secara konstitusional dengan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.