JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan Tuti Atika. Hal ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 49/PUU-XIX/2021 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi dalam persidangan yang digelar pada Rabu (24/11/2021) di ruang Sidang Pleno MK secara daring.
Dalam pertimbangan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Mahkamah tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon termasuk menilai putusan hakim yang mengadilinya, ketentuan norma Pasal 12 UU Tipikor harus dibaca sebagai satu kesatuan yaitu dari huruf a sampai dengan huruf I, di mana sanksi pidana yang dapat dijatuhkan baik terhadap pelaku, pemberi, maupun penerima. Adapun hakim sebagai penyelenggara negara juga bagian yang dilarang untuk menerima hadiah atau janji yang dapat memengaruhi putusan perkara yang sedang ditangani.
Hal tersebut sejalan dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi. Apabila pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak berniat menerima suap atau terpaksa menerima gratifikasi, maka berdasarkan Pasal 12C ayat (1) dan ayat (2) UU Tipikor, gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak akan dianggap sebagai suap apabila penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK paling lambat 30 hari sejak tanggal diterimanya gratifikasi dimaksud.
Lebih lanjut Daniel mengatakan, demikian halnya dalam persoalan yang dihadapi oleh Pemohon, yaitu apabila benar Pemohon telah menerima uang dari kuasa hukum yang sedang berperkara di PN Tangerang, maka juga berlaku kewajiban untuk melaporkan berkenaan dengan gratifikasi tersebut agar terhindar dari ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya.
Berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 55 Ayat (1) KUHP, menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999), setiap orang yang membantu pelaku tindak pidana korupsi diancam dengan pidana yang sama yang dikenakan kepada pelaku korupsi.
Ketentuan tersebut juga berlaku untuk setiap orang yang berada di luar wilayah Indonesia yang membantu pelaku tindak pidana korupsi (vide Pasal 16 UU 31/1999). Adapun dalam rumusan Pasal 55 ayat (1) KUHP, terdapat 3 (tiga) jenis pelaku tindak pidana yang dapat dipidana yaitu: (1) mereka yang melakukan, (2) yang menyuruh melakukan, dan (3) yang turut serta melakukan perbuatan. Dalam konteks ini dikenal dengan yang disebut penyertaan (deelneming) dan frasa “turut serta” melakukan yang dalam hal ini berarti bersama-sama melakukan, dan diperlukan syarat sedikitnya harus ada 2 (dua) orang yaitu orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana.
Dalam perspektif turut serta dengan ancaman pidana yang sama, kedua pelaku semuanya melakukan perbuatan pidana, tidak boleh hanya melakukan persiapan atau hanya bersifat menolong. Sebab jika hanya demikian maka orang yang menolong tersebut tidak termasuk turut melakukan (medepleger), akan tetapi hanya diancam pidana sebagai orang yang membantu melakukan (medeplichtigheid). Oleh karena itu, apabila dalam tindak pidana melibatkan beberapa orang, maka pertanggungjawaban setiap orang yang bersama-sama melakukan tindak pidana itu tidaklah sama, tetapi berbeda-beda menurut perbuatan atau perannya.
Dengan demikian, Daniel melanjutkan, berkaitan dengan status keterlibatan seseorang dalam terjadinya tindak pidana, Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP menentukan sistem pemidanaannya. Pertama, jika status keterlibatan seseorang itu sebagai pembuat delik (dader), baik kapasitasnya sebagai yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger), turut serta melakukan (medepleger), maupun mereka yang memberikan atau menjanjikan sesuatu (uitloker) maka dapat dikenakan ancaman pidana yang sama dengan pelaku (dader) sesuai dengan ketentuan pasal yang dilanggar (bertanggung jawab penuh).
Kedua, jika status keterlibatan orang tersebut adalah pembantu bagi para pembuat delik (medeplichtigheid) maka hanya dapat dikenakan ancaman pidana maksimum dikurangi sepertiga sesuai dengan ketentuan pasal yang dilanggar (bertanggung jawab sebagian). Sehingga, penting untuk menjelaskan secara rinci terkait kedudukan pelaku apabila dihubungkan dengan adanya delik penyertaan, karena,hal tersebut berhubungan dengan sifat pertanggungjawaban dan ancaman pidana yang akan dikenakan kepada pelaku.
Baca juga:
Mantan Panitera Pengganti Terpidana Korupsi Uji UU Tipikor dan KUHP
Eks Panitera Pengganti Terpidana Korupsi Perbaiki Uji UU Tipikor dan KUHP
Perintah Atasan
Untuk diketahui, Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 49/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Tuti Atika yang sebelumnya berprofesi sebagai Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Tangerang. Adapun materi yang diujikan Pemohon yaitu Pasal 11 dan Pasal 12 huruf c UU Tipikor, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP terhadap Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
“Jadi, kami rasakan memang selama ini menurut kita itu ada kekeliruan, Pak, dalam penerapan hukum. Terutama Undang-Undang Tipikor, Pak. Saya katakan Undang-Undang Tipikor saja, ya, Pak, ya. Pasal 11 dan Pasal 12C, Pak. Karena dalam Pasal 11 dan Pasal 12C kalau saya baca analisa saya itu diperuntukkan untuk pejabat atau hakim pejabat, pejabat yang berwenang dan sah, sedangkan istri saya, Pemohon, adalah seorang Panitera, dia hanya pembantu dalam hubungan kerja, dia ada pembantu hakim, kalau hubungan struktural memang dia di bawah panitera kepala, tapi hubungan kerja dia adalah pembantu hakim. Jadi, otomatis dia adalah pembantu yang tidak punya kapasitas untuk memutuskan suatu perkara,” kata Akhmad selaku kuasa sekaligus suami Pemohon, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK, Senin (4/10/2021).
Lebih lanjut Akhmad menerangkan, Pemohon hanya diperintah hakim yang tidak adil mulai dari penuntutan hingga vonis putusan. Menurutnya, karena pemohon hanya membantu, maka tidak punya kapasitas untuk memutuskan suatu perkara.
Dalam permohonannya, Pemohon menerangkan bahwa profesi Pemohon sebelumnya adalah Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Tangerang. Pada 28 Agustus 2018, berdasarkan Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Serang, Pemohon dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun dan denda sejumlah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Pada 12 November 2018, Putusan Pengadilan Tinggi Banten menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Serang. Pemohon juga telah mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Serang, yang isi putusannya adalah ditolak.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK yang ditujukan kepada Pemohon adalah atas pelanggaran Pasal 11 dan 12 huruf c UU Tipikor. Berdasarkan fakta, Pemohon bukanlah menjabat sebagai “Hakim” namun hanya sebagai “Panitera Pengganti” yang berstatus Pegawai Negeri sehingga tidaklah dapat menurut hukum jika Pemohon dikualifikasikan sebagai orang yang ikut serta melakukan sebagaimana dimaksud didalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, karena apabila orang tersebut dikualifikasikan sebagai orang yang membantu melakukan, maka seharusnya dikenakan Pasal 56 KUHP, bukanlah Pasal 55 KUHP.
Menurut Pemohon, dasar pemidanaan dalam hukum pidana di Indonesia adalah dakwaan yang dimuat di dalam surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum, sehingga seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman atas perbuatan yang tidak didakwakan kepadanya. Oleh karena Pasal 56 KUHP tidak didakwakan, maka sudah seharusnya menurut hukum Pemohon juga harus dibebaskan dari dakwaan perkara tersebut.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.