Pemohon dan Kuasa hukumnya mengikuti sidang perdana uji materiil Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan secara daring, pada Selasa (16/11) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Panji.
JAKARTA, HUMAS MKRI - Armansyah, mantan Direktur Utama PT BPR Palembang, mengajukan permohonan pengujian Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (UU Perbankan) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 58/PUU-XIX/2021 ini digelar MK pada Selasa (16/11/21). Pemohon mendalilkan Pasal 49 ayat (1) huruf a dan Pasal 49 ayat (1) huruf b UU Perbankan multitafsir sehingga merugikan hak konstitusionalnya.
Pasal 49 ayat (1) huruf a UU Perbankan berbunyi, “(1) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja: (a) membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank”. Sementara Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan berbunyi, “(2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja: (b) tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (serratus miliar rupiah)".
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa pemberlakuan atau penerapan Pasal 49 ayat (1) huruf a UU Perbankan dinilai tidak melindungi para pelaku perbankan. Tak hanya itu, ketentuan tersebut juga tidak memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum dalam hal pelakunya adalah bukan Anggota Komisaris, Direksi, maupun Pegawai Bank. Salah satu keterbatasan ketentuan pidana Pasal 49 ayat (1) huruf a UU Perbankan ini dengan subjek hukumnya terbatas, yaitu Komisaris, Direksi, dan Pegawai Bank.
Kemudian Pemohon menilai bahwa Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan digunakan secara tak tepat oleh aparat hukum seperti yang dialami Pemohon. Pemohon dijerat pasal a quo oleh OJK dan kasus tersebut masih dalam proses persidangan. “Maka, hal ini jelas telah menghilangkan hak konstitusional Pemohon, yaitu hak atas kepastian hukum, jaminan hukum dan perlindungan hukum yang adil, sehingga melanggar ketentuan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujar Windu Rohima selaku kuasa hukum Pemohon.
Dalam petitumnya, Pemohon menyampaikan bahwa Pasal 49 Ayat (1) huruf a terhadap frasa “Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau Pegawai Bank” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga harus dibaca “Barang siapa”. Hal ini agar memberikan makna yang jelas dan memberikan kepastian hukum, jaminan hukum, dan perlindungan hukum yang adil
“Bagi Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka mohon supaya dihapus frasa ‘Anggota Komisaris, Direksi, dan Pegawai Bank’ digantikan frasa ‘Barang Siapa’ sehingga Pasal ini semestinya berbunyi, ‘Barang siapa yang dengan sengaja membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank’,” jelas Windu.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 49 ayat (1) huruf a dan Pasal 49 ayat (1) huruf b UU Perbankan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan penerapan sanksi pidana kepada Pemohon dengan dugaan melanggar Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan BAB VIII Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif adalah cacat hukum.
Kasus Konkret
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Manahan M.P. Sitompul tersebut memberikan saran perbaikan. Hakim Konstitusi Saldi Isra menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk menilai kasus konkret dalam pengujian undang-undang. Apalagi Pemohon dalam petitumnya, meminta Mahkamah menganulir putusan pelaku kekuasaan kehakiman lainnya.
“(MK) Bukan lembaga untuk mengoreksi putusan pengadilan lain. Yang kami kerjakan di sini adalah menilai konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD. Anda tidak boleh membawa logika kasus konkret di sini. Sebab, jika begini, (MK) bisa menganggap permohonan kabur atau NO,” tegas Saldi.
Saldi melanjutkan kasus konkret hanya dicantumkan untuk menjelaskan kedudukan hukum. Pemohon juga disarankan untuk menjelaskan kerugian konstitusional yang dialaminya. “Karena Mahkamah menilai kerugian hak konstitusional yang dialami Pemohon,” tegas Saldi.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul meminta agar Pemohon memperbaiki sistematika permohonan agar sesuai dengan PMK No. 2 Tahun 2021 (PMK 2/2021). Selain itu, Manahan menyebut uraian kasus konkret tidak boleh menghilangkan format-format yang disarankan sesuai pengujian undang-undang. “Takutnya MK akan dianggap pengadilan tingkat empat di atas kasasi. Apalagi dalam petitum, meminta menganulir putusan kasasi,” ujar Manahan.
Terkait provisi Pemohon, Manahan juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan untuk menganulir putusan kasasi. “Mahkamah tidak menilai kasus konkret yang dihadapi Pemohon,” ujarnya.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi selambatnya pada 29 November 2021. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Raisa Ayudhita