JAKARTA, HUMAS MKRI – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membantah adanya pengurangan kewenangan Pemerintah Daerah terkait perizinan berusaha pertambangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Arteria Dahlan mewakili DPR menyebut bahwa UU a quo masih jelas mengatur kewenangan Pemerintah Daerah melalui pendelegasian kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam pemberian perizinan berusaha seperti Nomor Induk Berusaha maupun sertifikat standar izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Penjelasan Pasal 35 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 mengatur bahwa pendelegasian kewenangan perizinan berusaha oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah provinsi didasarkan pada prinsip efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, dan eksternalitas dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, antara lain dalam pemberian IPR dan SIPB. Dengan demikian, DPR berpendapat bahwa tidak tepat jika Para Pemohon mendalilkan ketentuan pasal a quo telah mereduksi dan menghilangkan kewenangan pemerintah daerah,” urai Arteria menanggapi Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 tersebut.
Baca juga: Menyoal Hilangnya Peran Pemerintah Daerah dalam UU Minerba
Dalam keterangannya, Arteria juga membantah dalil para Pemohon yang menyatakan hilangnya kewenangan Pemerintah Daerah dalam penguasaan mineral dan batu bara justru menyebabkan para Pemohon kesulitan adalah tidak berdasar. Para Pemohon menyebut penghapusan kewenangan Pemerintah Daerah tersebut membuat mereka kesulitan dan membutuhkan biaya lebih mahal.
“Bahwa berbagai permasalahan dalam permasalahan pengelolaan mineral dan batu bara selama ini menjadi alasan pentingnya dilakukan optimalisasi penguasaan mineral dan batu bara yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat secara komprehensif. Pada dasarnya, pengelolaan mineral dan batu bara merupakan persoalan yang bersifat lintas wilayah dan daerah, sehingga banyak aspek yang perlu diperhatikan, sehingga tentu tidak bisa jika hanya berfokus pada persoalan kepentingan salah satu pihak, seperti berkaitan dengan wewenang badan hukum privat, LSM yang didalilkan Para Pemohon,” tegas Arteria dalam sidang yang digelar pada Senin (8/11/2021) secara virtual.
Baca juga: Pemohon Uji UU Minerba dan UU Cipta Kerja Perbaiki Permohonan
Alasan Perubahan
Arteria pun memaparkan sejumlah alasan yang menyebabkan Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat untuk mengubah UU 4/2009. Pertama, masih terdapat permasalahan dalam penyelenggaraan mineral dan batu bara berdasarkan UU 4/2009, di antaranya masih banyak data Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
“Bahwa semenjak adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 terjadi peningkatan jumlah IUP yang signifikan tanpa adanya sinkronisasi data antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, maka penyusunan kebijakan dan pelaksanaan penataan IUP menjadi tidak tepat sasaran dan menjadi permasalahan. Dengan kondisi yang demikian, maka kewajiban pelaporan dan penjagaan usaha pertambangan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat menjadi tidak berjalan,” terang Arteria.
Alasan berikutnya, lanjut Arteria, Pemerintah Daerah tidak mengalokasikan cukup dana untuk kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan. Padahal, sambungnya, mengacu pada Pasal 11 UU 3/2020 telah diatur bahwa Pemerintah Daerah wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka untuk mempersiapkan wilayah pertambangan.
Menurut Arteria, banyak konflik pertambangan yang terjadi antara pemegang IUP dan masyarakat yang tidak dapat diselesaikan secara baik, padahal idenya adalah pemerintah daerah dianggap lebih memahami aspek sosio ekonomi masyarakat setempat. Namun, pada faktanya, justru terjadi permasalahan yang tidak berkesudahan.
Selain itu, Arteria mengungkapkan bahwa izin pertambangan banyak diberikan tanpa mempertimbangkan kajian hidup strategis, sehingga berdampak pada kerusakan lingkungan. Dokumen AMDAL yang dibuat sering bersifat salin tempel dari dokumen AMDAL lain yang tidak menggambarkan kondisi riil di lapangan. Kemudian, jarang sekali terdapat upaya pemberian sanksi kepada perusahaan-perusahaan yang melanggar syarat izin lingkungan tersebut. “Permasalahan terjadi karena kurangnya pengawasan pemerintah daerah terkait penerbitan AMDAL,” ujarnya.
Baca juga: Pemerintah Minta Penundaan Sidang Uji Materiil UU Minerba dan Cipta Kerja
Sebelumnya, perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh 4 (empat) Pemohon yang terdiri dari Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Pemohon I, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) sebagai Pemohon II, Nurul Aini, sebagai Pemohon III, dan Yaman sebagai Pemohon IV yang merupakan seorang Petani dan Nelayan.
Pemohon menguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja, yakni Permohonan Pengujian Materiil Ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17 ayat (2), Pasal 17A ayat (2), Pasal 21, Pasal 22A, Pasal 31A ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40 ayat (5) dan (7), Pasal 48 huruf a dan b, Pasal 67, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 93, Pasal 105, Pasal 113, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 140, Pasal 142, Pasal 151, Pasal 162 (juncto Pasal 39 UU Cipta Kerja), Pasal 169A ayat (1), Pasal 169B ayat (3), Pasal 169C huruf g, Pasal 172B ayat (2), Pasal 173B, Pasal 173C UU Minerba. Pasal-pasal tersebut dinilai multitafsir sehingga merugikan hak konstitusional para Pemohon. Untuk itu, Pemohon meminta Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Andhini SF