JEMBER, HUMAS MKRI – Keadilan seringkali hanya dikaitkan dengan persoalan substansi dalam suatu norma, terlebih untuk negara yang menganut civil law. Bahkan kritik tidak hanya disampaikan pada putusan pengadilan namun juga norma yang dianggap berisi ketidakadilan. Putusan pengadilan yang adil dalam lingkup peradilan apapun termasuk Peradilan Konstitusi memerlukan pengaturan terkait procedural law dalam law making process.
Hal tersebut disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman usai peresmian Unej Law Integrated Legal Edu dan Pemanfaatan Smartboard Mini Courtroom di Universitas Jember, Sabtu (6/11/2021).
Dikatakan Anwar, banyak diskusi para pakar terkait komparasi procedural law dalam law making process, baik dalam komparasi sistem hukum maupun komparasi dari sisi implementasi pengaturan procedural law. James Maxeiner dalam bukunya mengatakan, procedural law dipengaruhi oleh sistem hukum yang digunakan, sistem hukum yang memengaruhi procedural law, sistem hukum yang digunakan memengaruhi penelitian ilmiah tentang procedural law.
Lebih lanjut Anwar mengatakan, legal method pada unsur ketiga dimaksudkan harus melalui law making, law finding dan law applying. Law making dimaksudkan adalah tahapan perumusan norma di legislatif. Law finding adalah tahapan melakukan interpretasi norma dan presedent. Sedangkan law applying adalah tahapan implementasi norma pada kasus-kasus konkret.
“David Gerber mendefinisikan procedural law sebagai sebuah sistem yang fungsinya saling berkaitan untuk menegakkan kepentingan umum dalam penyelesaian sengketa perdata. Lebih lanjut, Gerber mendefinisikan fungsi dasar dari hukum acara adalah dengan memulai pemeriksaan dalam peradilan, memperoleh data, membentuk fakta hukum, menetapkan fakta hukum, memperoleh gambaran tentang latar belakang kasus, menyusun hukum dalam pemecahan kasus, membentuk ketetapan hukum, memutuskan hasil berupa fakta hukum dan tindakan serta upaya hukum selanjutnya,” papar Anwar yang menyajikan materi “Pengaturan Hukum Acara MK”.
Perkembangan Hukum Acara MK
Perkembangan tentang Hukum Acara MK, ungkap Anwar, justru terjadi melalui praktik persidangan dan putusan yang dikeluarkan oleh MK. Hal ini, bahkan telah dilakukan oleh hakim konstitusi pada generasi awal hingga saat ini. Perkembangan tentang Hukum Acara MK melalui praktik dan putusan, sesungguhnya bukan merupakan kehendak MK, melainkan untuk mengisi kekosongan hukum di dalam praktik, dan bahkan untuk memberikan perlindungan hak konstitusional kepada warga negara.
Sebagai contoh, saat pertama kali MK berdiri dan diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat satu norma yang melarang bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji ke MK adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 dilaksanakan (Perubahan UUD 1945 pada 1999-2002). Ketentuan norma ini tentu berangkat dari suatu prinsip hukum bahwa hukum harus bersifat prospektif dan bukan retroaktif.
Namun, ketentuan norma ini bertentangan dengan semangat dibentuknya MK yaitu untuk memberikan perlindungan hak konstitusional kepada warga negara dari berlakunya suatu UU yang bertentangan dengan UUD. Padahal, keberlakuan suatu UU yang lahir sebelum dilakukannya Perubahan UUD 1945, tidak tertutup kemungkinan dapat pula melanggar hak konstitusional warga negara.
“Jika keberlakuan norma ini tetap ada, tentu saja dalam hukum acara pengujian undang-undang, ketentuan ini menjadi syarat formil bagi Pemohon untuk melakukan pengujian undang-undang. Oleh karena itu, sejak 2004 norma ketentuan pasal ini telah dibatalkan oleh MK, melalui Putusan Nomor 066/PUU-II/2004,” tegas Anwar.
Hal lain yang cukup penting dalam proses hukum acara pengujian undang-undang (PUU) di MK adalah menyangkut kedudukan hukum Pemohon. Meski Pasal 51 UU MK telah diatur siapa saja pihak yang memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon dalam perkara PUU, namun perkembangan syarat konstitusional bagi Pemohon berkembang dalam Putusan-Putusan MK. Sejak 2004 MK telah mengembangkan syarat konstitusional Pemohon tersebut, sebagai terjemahan dari Pasal 51 UU MK. Setidaknya, ada tiga yurisprudensi pokok Mahkamah yang menjadi sumber rujukan bagi putusan setelahnya, menyangkut syarat konstitusional bagi Pemohon yaitu Putusan 003/PUU-I/2003, Putusan 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007.
Begitu pula halnya terhadap format putusan MK. Meski UU MK hanya mengatur tiga varian bentuk amar putusan MK yakni tidak dapat diterima, ditolak, dan dikabulkan, namun dalam perkembangannya terdapat Putusan MK yang bersifat bersyarat yakni putusan conditionally constitusional dan conditionally unconstitutional.
“Bahkan ada pula Putusan MK yang dalam amarnya menolak, namun pada bagian pertimbangannya memberikan pesan kepada pembentuk UU untuk untuk mengubahnya. Juga masih banyak varian lain dalam hukum acara PUU lainnya yang merupakan perkembangan dari Putusan MK. Termasuk Hukum Acara MK tentang PUU yang baru, sebagaimana diatur di dalam PMK Nomor 2 Tahun 2021,” jelas Anwar.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.