MALANG, HUMAS MKRI – Salah satu buku yang cukup up to date dan menarik tentang amendemen Konstitusi adalah buku yang dituliskan pakar hukum tata negara dari Universitas Texas yakni Profesor Richard Albert. Buku itu berjudul “Constitutional Amendments: Making, Breaking, and Changing” dan pernah didiskusikan dalam kegiatan bedah buku di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2019. Buku setebal 338 halaman yang terbagi dalam 3 bagian utama dan 6 subbagian itu, berangkat dari dua pertanyaan yang bersifat mendasar. Pertanyaan pertama, apakah amendemen konstitusi itu? Pertanyaan kedua, bagaimana seharusnya perancang konstitusi menyusun prosedur perubahan konstitusi?.
“Dua pertanyaan mendasar yang terkesan sederhana ini, sesungguhnya merupakan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab secara sederhana pula. Tantangan untuk menjelaskan kedua pertanyaan tersebut secara rinci, tidaklah mudah, bahkan cukup pelik untuk menguraikannya,” kata Ketua MK Anwar Usman yang memberikan ceramah kunci dengan tema “ Amendemen Konstitusi” usai peresmian Smartboard Mini Courtroom di Universitas Brawijaya Malang pada Jumat (5/11/2021).
Pada bagian pertama berjudul “Forms and Function” Richard Albert menguraikan prosedur formal perubahan konstitusi dapat dilakukan, sebagai bagian dari prinsip konstitusionalisme dalam konsep negara hukum. Prosedur formal ini bertujuan memperbaiki ketidaksempurnaan konstitusi di masa depan, sekaligus sebagai pembeda antara konstitusi dengan hukum biasa. Ketentuan formal perubahan Konstitusi menurut Richard, harus menciptakan prosedur yang terukur dan memperhatikan nilai-nilai demokrasi. Hal terpenting dari proses perubahan formal konstitusi menurut Richard, menjadikan perubahan konstitusi secara formal sebagai media untuk menerapkan prinsip a living constitution.
“Penulis buku itu juga mengemukakan bahwa perubahan formal bukan merupakan satu-satunya mekanisme perubahan konstitusi, karena praktik ketatanegaraan merupakan bagian dari konstitusi yang tidak tertulis. Konstitusi tidak tertulis tersebut kita kenal dengan istilah konvensi. Contoh konkret dari konvensi ini adalah Pidato Kenegaraan yang dilakukan Presiden pada setiap 16 Agustus,” ujar Anwar.
Perbandingan Konstitusi
Dikatakan Anwar, pada bagian kedua berjudul “Flexibility and Rigidity” Richard menguraikan hal menarik dengan membandingkan konstitusi Indonesia dengan konstitusi Amerika. Richard bahkan secara eksplisit mengatakan bahwa Pasal 37 UUD 1945 mencerminkan mekanisme perubahan konstitusi yang lebih fleksibel jika dibandingkan dengan Bagian Kelima Konstitusi Amerika Serikat. Masih pada bagian kedua buku ini, Richard juga mengungkapkan tentang ketentuan Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 sebagai bagian dari bentuk ekspresi nasionalisme bernegara yang bertujuan menjaga nilai-nilai pluralisme di Indonesia yang sangat kaya suku dan etnis sekaligus mempertahankan dan menjaga komitmen kebangsaan para pendiri negara (founding fathers) yang mendirikan negara dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutya, pada bagian ketiga buku ini yang berjudul “Creation and Reform” Richard menceritakan tentang dua peran yang berbeda dari MK maupun lembaga peradilan dalam proses amendemen konstitusi. Mahkamah Agung Kanada misalnya, memiliki kewenangan menilai atau meninjau konstitusionalitas, baik dari aspek substantif maupun prosedural, dari rencana amendemen konstitusi yang akan dilakukan oleh parlemen Kanada. Mahkamah Agung Kanada memilik sejarah yang cukup panjang dalam memberikan nasihat kepada anggota parlemen tentang bagaimana dan mengapa amendemen konstitusi harus dilakukan. Meski Mahkamah Agung Kanada memiliki kewenangan menolak rencana amendemen Konstitusi, namun di dalam praktik, Parlemen Kanada biasanya lebih dulu mengajukan proposal rencana amendemen konstitusi kepada Mahkamah Agung, untuk kemudian Mahkamah Agung memberikan panduan kepada parlemen agar rencana perubahan konstitusi tetap konstitusional.
Meski Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) tidak memiliki kewenangan menilai konstitusionalitas proses amendemen konstitusi sebagaimana dimiliki Mahkamah Agung Kanada, namun dalam praktiknya, MKRI pernah melakukan reformulasi pemaknaan UUD 1945. Hal ini dilakukan MKRI dalam Putusan Perkara Nomor 14/PUU-XI/2013 yang melakukan reformulasi pemaknaan Pasal 6A dan Pasal 22E UUD 1945. MKRI menggunakan pendekatan penafsiran original intent, sistematik, dan gramatikal dalam memaknai pelaksanaan pemilu legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden.
“Sehingga dengan pemaknaan baru tersebut, berimplikasi kepada pelaksanaan pemilu legislatif yang semula dilaksanakan terpisah antara pemilu legislatif yang dilakukan lebih dulu, dan pemilu presiden/wakil presiden dilakukan setelah pemilu legislatif, menjadi dilakukan secara serentak. Putusan MK ini oleh beberapa ahli dikatakan sebagai proses amendemen konstitusi yang bersifat informal dan merupakan bagian dari otoritas judicial interpretation terhadap konstitusi,” papar Anwar.
Smartboard Mini Courtroom
Berkaitan dengan pemanfaatan Smartboard Mini Courtroom Anwar mengatakan, kerja sama yang dibangun MK dengan dunia kampus sejak 2003 hingga hari ini secara signifikan telah meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap UUD 1945. Hal ini secara nyata dirasakan oleh MK melalui perkara-perkara yang diperiksa dan diputus oleh MK. Selain itu, acces to justice kepada MK juga semakin dipermudah dengan teknologi persidangan jarak jauh yang ditempatkan di berbagai fakultas hukum di seluruh provinsi di Indonesia. Semula, teknologi persidangan jarak jauh yang ditempatkan adalah teknologi video conference yang berada di 42 perguruan tinggi di seluruh provinsi di Indonesia. Namun saat ini, teknologi tersebut akan digantikan dengan smartboard yang akan ditempatkan di mini courtroom pada fakultas hukum di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Penempatan teknologi ini, selain memudahkan masyarakat pencari keadilan untuk mengajukan perkara dan bersidang di MK, juga sebagai bentuk transparansi dalam melaksanakan proses peradilan di MK.
Dengan teknologi ini, kata Anwar, masyarakat dan khususnya kalangan dunia akademik dapat secara langsung memantau proses persidangan di MK secara real time. Selain untuk persidangan, teknologi ini juga dapat digunakan untuk kepentingan akademik seperti kuliah umum, diskusi ilmiah, seminar, dan berbagai kegiatan lainnya. Dalam kondisi pandemi Covid-19, pemanfaatan media persidangan jarak jauh dapat lebih dimaksimalkan. Hal ini bertujuan untuk melaksanakan protokol kesehatan dan mencegah interaksi langsung yang dapat menyebabkan penyebaran virus dapat terjadi secara masif.
“Pemanfaatan media persidangan jarak jauh telah turut menyukseskan penanganan perkara pilkada serentak yang dilakukan di 270 daerah pada 2020 lalu. Memang, meski saat ini banyak platform yang dapat digunakan melakukan persidangan atau pertemuan secara daring, namun persidangan atau pertemuan secara daring yang dilakukan secara individual sering mengalami kendala. Karena itu, besar harapan saya agar pemanfaatan Smartboard Mini Courtroom dapat secara maksimal digunakan bagi masyarakat secara luas di masa yang akan datang,” tandas Anwar.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.