BANGKA BELITUNG, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan Kuliah Umum bagi Civitas Akademika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Bangka Belitung, pada Sabtu (6/11/2021). Acara tersebut merupakan rangkaian kegiatan dari penyerahan Smartboard Mini Court Room pada Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung yang berlangsung pada Jumat (5/11/2021) kemarin.
Dalam paparannya, Enny mengatakan bahwa bicara mengenai MK, maka harus paham sejarah ketatanegaraan. Menurutnya hal tersebut tidak bisa dipisahkan. “Kalau kita bicara MK, kita sebetulnya harus memahami sejarah ketatanegaraan. Kalau kita bicara sejarah ketatanegaraan tidak bisa dipisahkan dari dinamika politik waktu itu,” ujar Enny.
Enny mengatakan, keberadaan MK sebetulnya sudah digagas oleh Moh Yamin sejak lama. “Di Indonesia apabila merumuskan konstitusi jangan hanya merumuskan dengan sistem pengelolaan bernegara saja atau hanya dengan kekuasaan presidennya saja tetapi ada satu kelembagaan yang nantinya dapat menjadi jaminan bahwa konstitusi tetap tegak. Oleh karena itu Yamin mengatakan harus ada lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap produk yang dibuat oleh legislatif,” papar Enny secara luring.
Selanjutnya Enny mengatakan, Yamin ketika itu mengusulkan pengujian diserahkan ke balai agung (Mahkamah Agung), tetapi pada era masa-masa perumusan undang-undang dasar itu terdapat orientasi pembentuknya menginginkan agar jangan mengedepankan satu paham yang berkaitan atau bersentuhan dengan kapitalisme, liberalisme atau individualisme.
“Pada saat itu kita sedang anti terhadap penjajahan karena sudah sekian lama menjajah Indonesia. Sehingga usulan Yamin itu ditolak namun keinginan itu terus ada oleh Ikatan Sarjana Hukum Indonesia,” terang Enny.
Kewenangan MK
Sebelum dibentuknya MK, sambung Enny, MPR diberi wewenang sementara untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan Ketetapan MPR. Namun, setelah undang-undang selesai proses perubahannya kemudian dibentuklah MK pada 2003. Dari situlah MK diberi kewenangan, yakni menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Memutus pembubaran parpol, Memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Namun dalam perkembangannya, MK juga berwenang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) dengan pertimbangan bahwa perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan UU.
Selain itu, Enny juga mengatakan, Hakim MK diawasi setiap saat oleh Dewan Etik. Hal itu karena hakim konstitusi harus menjaga etika. Sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama.
“Sapta Karsa Hutama merupakan pegangan bagi hakim bagaimana harus beretika menjalankan tugas fungsi dan wewenangnya. “Hakim itu sebetulnya dalam posisi silence decision. Dia (hakim konstitusi) tidak boleh bertemu dan berinteraksi dengan politisi, pengacara dan bersikap bukan pada tempatnya, berpakaian sembarangan pun tidak boleh,” tandas Enny. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P