JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membuka sekaligus memberikan ceramah kunci dalam kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara (PPHKWN) bagi Guru Mata Pelajaran PPKN Tingkat SMA/SMK dan MA/MAK, pada Selasa (2/11/2021) sore di Gedung MK.
Dalam sambutannya, Anwar mengatakan perubahan UUD 1945 yang dilakukan sejak 1999 – 2002, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan reformasi tahun 1998. Oleh karena itu, lanjutnya, kelahiran MK pada 2003, juga akibat dilakukannya perubahan UUD 1945. Karena itulah, MK seringkali disebut sebagai bagian dari anak kandung gerakan reformasi.
“Pada perubahan UUD 1945 tahap ketiga yang dilakukan tahun 2001, khususnya Pasal 24 ayat (2), MK lahir sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung (MA),” ujar Anwar didampingi Plt. Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Imam Margono.
Dikatakan Anwar, kewenangan MK secara eksplisit tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2), yaitu menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (pemilu legislatif DPR, DPD, DPRD dan Pilpres), dan memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Selain kewenangan tersebut, sambung Anwar, MK juga diamanatkan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, atau yang sering kita kenal dengan sengketa Pilkada. Dengan kewenangan tersebut di atas, pada awal kelahirannya, MK sering disebut oleh berbagai kalangan sebagai Pengawal Konstitusi (The Guardian of the Constitution), Pengawal Demokrasi (The Guardian of the Democration), Pelindung Hak Konstitusional Warga Negara (The Protector of the Citizen’s Constitutional Rights).
Namun belakangan ini, Anwar menerangkan, sebutan dan harapan kepada MK menjadi bertambah, yaitu MK diharapkan juga menjadi pengawal bagi ideologi negara, yaitu Pancasila. Harapan dan keinginan ini sesungguhnya tidaklah berlebihan, karena Pancasila merupakan bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945.
“Sebagaimana kita ketahui, terdapat dua bagian utama dari naskah UUD 1945, yaitu bagian Pembukaan (Preambule), dan bagian kedua yaitu batang tubuh atau norma-norma UUD 1945. Bagian Pembukaan, memuat suasana kebathinan para perumus konstitusi tentang cita-cita dan tujuan perjuangan kemerdekaan Indonesia, serta dasar Ideologi negara (Pancasila),” terang Anwar.
Lebih lanjut Anwar menjelaskan, cita-cita perjuangan kemerdekaan serta dasar Ideologi Negara Pancasila, selanjutnya diejawantahkan dalam norma-norma batang tubuh konstitusi. Batang tubuh konstitusi sebagaimana lazimnya konstitusi di berbagai negara, memuat sekumpulan aturan dasar bernegara, yang menetapkan keberadaan lembaga-lembaga negara serta fungsinya, pengaturan hubungan dan pembatasan kekuasaan lembaga negara, jaminan perlindungan hak konstitusional warga negara, dan seterusnya. Dengan demikian, mengawal norma-norma dalam konstitusi, pada hakikatnya, sama dengan mengawal Ideologi Negara Pancasila.
Konsep Negara Hukum
Pada kesempatan yang sama Anwar juga mengatakan, dalam membangun tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat ini, konsep yang berlaku hampir merata di seluruh dunia adalah, konsep demokrasi dan konsep negara hukum. Sejak Indonesia merdeka, para pendiri negara Indonesia telah berkomitmen terhadap terbentuknya negara dengan prinsip demokrasi, dan berkomitmen untuk mewujudkan konsepsi negara hukum. Dalam Pembukaan UUD 1945, konsep negara hukum disebut dengan sangat jelas, tertuang dalam alinea ke empat yang berbunyi, “...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,...”. Rumusan tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia haruslah dijalankan berdasarkan konstitusi. Wujud konsepsi negara hukum, selanjutnya dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Dahulu, Anwar menyebut, makna dari konsep negara hukum selalu diidentikkan dengan rechtsstaat atau the rule of law. Padahal, konsep rechtsstaat atau the rule of law memiliki latar belakang dan tradisi hukum yang berbeda, serta pelembagaan yang berbeda pula. Meskipun dalam perspektif yang lain, keduanya juga memiliki persamaan, yaitu sama-sama mengakui prinsip perlindungan HAM melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak. Sebagaimana lazim diketahui, rechtsstaat dianut oleh banyak negara Eropa Kontinental yang menganut sistem civil law.
Sedangkan the rule of law, menurut Anwar, lebih banyak dianut oleh negara-negara dengan tradisi hukum Anglo Saxon yang berbasis pada sistem common law. Dalam operasionalisasinya, civil law lebih menitikberatkan pada administrasi dan sistem norma, sedangkan common law lebih kepada aktivitas yudisial. Lebih lanjut, konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid (hukum tertulis) yang kemudian menjadi rechtmatigheid (tindakan berdasarkan hukum), sedangkan rule of law mengutamakan prinsip equality before the law yang memberi kebebasan kepada hakim untuk menciptakan hukum demi keadilan.
“Sementara pada konteks Indonesia, sebelum dilakukannya Perubahan UUD 1945 pada tahun 1999 – 2002, Penjelasan UUD 1945 menyebut istilah rechtsstaats secara eksplisit. Hal inilah yang membuat Indonesia seolah-olah menganut konsep negara hukum rechtsstaat sebagaimana negara-negara civil law. Namun, pasca Perubahan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’. Dengan ketentuan ini, konsepsi negara hukum yang dulu identik dengan rechtsstaat dinetralkan menjadi negara hukum saja,” ungkap Anwar.
Anwar mengatakan, konsepsi negara hukum yang dianut UUD 1945, diperoleh baik dari rechtsstaats maupun the rule of law. Bahkan juga, diperoleh dari sistem hukum lainnya yang integratif, dan implementasinya disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan serta perkembangan yang ada.
Atas dasar itulah, konsep negara hukum Indonesia menerima prinsip kepastian hukum yang menjadi elemen utama rechtsstaat, sekaligus menerima pula prinsip rasa keadilan dari the rule of law. Hukum tertulis dan segala ketentuan proseduralnya diterima tetapi diletakkan dalam konteks menegakkan keadilan. Dalam hal ini, hukum tertulis yang menghalangi tercapainya keadilan dapat saja diabaikan melalui penciptaan hukum baru oleh hakim dengan menggunakan prinsip judge made law. Karena, Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa fungsi kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan keadilan bukan semata-mata hanya menegakkan hukum tertulis. Ketentuan lain misalnya dijumpai dalam Pasal 28D ayat (1) tentang hak memperoleh kepastian hukum, dan Pasal 28H yang menentukan bahwa hukum harus dibangun berdasarkan keadilan dan kemanfaatan. Hal ini menegaskan keharusan untuk menegakkan hukum dan keadilan secara berkelindan.
Sehingga, menurut Anwar, dari konsepsi negara hukum Indonesia yang demikian, maka Indonesia memiliki sistem hukum yang khas yakni sistem hukum yang dijiwai oleh ideologi negara yang dikenal dengan Pancasila. Ideologi Pancasila merupakan kristalisasi antara rechtstaats dan the rule of law. Sistem hukum Pancasila memiliki kekhasan tersendiri dengan mengambil sisi baik dari konsep rechtsstaat maupun the rule of law, dan juga sistem-sistem hukum lain yang ada sebelumnya, seperti dalam hukum adat serta hukum agama. Dalam sistem hukum Pancasila inilah, hukum harus senantiasa berdimensi dan berorientasi pada keadilan. Hukum tidak boleh dipahami bersifat mutlak dan rigid, melainkan harus penuh dengan sentuhan moral dan nurani. Itulah yang kemudian menjadi esensi dari penegakan hukum di Negara Hukum Pancasila.
Pancasila Sebagai Cita Hukum Indonesia
Dalam konteks ini, Anwar menjelaskan, Pancasila menjadi cita hukum Indonesia. Secara umum, cita hukum dapat dimaknai dari dua perspektif. Yang pertama sebagai tujuan hukum. Cita hukum berhubungan erat dengan cita-cita yang hendak dicapai oleh masyarakat melalui sistem hukum yang dianggapnya sesuai. Kedua, sebagai hukum yang diidealkan, maka cita hukum merupakan jiwa hukum yang menentukan bagaimana seharusnya bentuk, rupa, dan aktivitas sistem hukum agar dapat mewujudkan masyarakat sesuai yang dicita-citakan.
Pancasila menjadi cita hukum karena kedudukannya sebagai pokok kaidah fundamental negara (staatsfundamentalnorm). Karena itu pula, Pancasila menjadi guidance (panduan) bagi terbentuknya hukum nasional. Dengan kata lain, semua produk hukum yang dibuat dan diberlakukan, ditujukan untuk mewujudkan gagasan-gagasan yang dikandung dalam Pancasila. Atas dasar itulah, Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum yang menjadi penuntun hukum. Pancasila merupakan titik bermula sekaligus titik tujuan dari hukum di Indonesia.
Kegiatan PPHKWN bagi Guru Mata Pelajaran PPKN Tingkat SMA/SMK dan MA/MAK ini diselenggarakan selama empat hari, yakni Selasa – Jumat (2 – 5/11/2021) secara daring dari Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi. Dalam kegiatan yang diikuti oleh 399 orang guru tersebut diisi oleh narasumber yang terdiri dari hakim konstitusi, panitera pengganti, akademisi, dan lainnya. Materi yang diberikan pun beragam seputar Pancasila dan Konstitusi, MK dan hukum acaranya, serta penyusunan permohonan pengujian undang-undang yang diikuti dengan praktik langsung. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P