JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji materiil mengenai aturan uji kompetensi bagi mahasiswa Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Nakes). Sidang perdana Perkara Nomor 56/PUU-XIX/2021 digelar pada Senin (1/11/2021). Permohonan ini diajukan oleh Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Swasta Indonesia (HPTKES Indonesia).
Dalam sidang yang digelar secara daring, Pemohon yang diwakili oleh Didi Cahyadi Ningrat selaku kuasa mendalilkan bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah salah dalam menafsirkan Pasal 21 UU Nakes. Hal ini berdampak pada terlanggarnya hak konstitusional Pemohon.
Kemendikbudristek mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 755/P/2020, tanggal 18 Agustus 2020 dan berlaku sejak 4 Mei 2020 sebagai turunan dari Permendikbud Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan yang merupakan turunan dari Pasal 21 UU Nakes. Dengan adanya Permendikbud tersebut, maka saat ini dalam menentukan kelulusan mahasiswa kesehatan dilakukan melalui uji kompetensi yang dilakukan oleh Komite Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan.
“Keberadaan Komite Nasional Uji Kompetensi yang dilahirkan oleh Pasal 6 ayat (1) Permendikbud RI Nomor 2 Tahun 2020 justru telah mengulang kembali terhadap kekeliruan Permenristekdikti elalui panitia nasional yang sebelumnya telah dicabut dan dinyatakan tidak benar atau tidak sah. Di mana keberadaan dan kelahiran wujud baru komite teladan atau kembali mengambil alih kewenangan perguruan tinggi dalam menentukan kelulusan mahasiswa bidang kesehatan, bahkan uji kompetensi mahasiswa pendidikan vokasi dan profesi telah dilakukan dengan tidak tepat tanpa menempatkan standar mutu itu sendiri,” papar Didi di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Daniel Y.P. Foekh.
Menghalangi Mahasiswa Berkarier
Lebih lanjut Didi mengatakan, sebelum berlakunya ketentuan regulasi Pasal 21 UU Nakes pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan. Mahasiswa tidak seluruhnya diwajibkan lulus Uji Kompetensi Mahasiswa. Kewajiban tersebut hanya bagi yang akan melakoni profesi sebagai tenaga kesehatan, tidak termasuk bagi mahasiswa yang hanya ingin menamatkan studi saja.
“Karena faktanya banyak sarjana ataupun tamatan pendidikan vokasi tidak bekerja sebagai tenaga kesehatan, ada banyak pilihan dalam dunia kerja setelah mahasiswa menamatkan studinya atau bahkan dapat untuk melanjutkan atau menyambung pendidikan pada program pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,” papar Didi.
Menurut Pemohon, kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi sebagai syarat menamatkan studi tersebut, justru mahasiswa terhalangi untuk melangkah ke tahap berikutnya baik berupa melanjutkan pada tahap jenjang pendidikan lebih tinggi ataupun untuk mencari pekerjaan.
Selain itu, Pemohon mengatakan, jika melihat pelaksanaan Pasal 21 UU Nakes ditafsirkan, maka dapat dilihat tidak adanya keterlibatan perguruan tinggi dalam proses uji kompetensi yang ditafsirkan tersebut di atas. Dengan kata lain, perguruaan tinggi tidak memiliki kewenangan sedikitpun dalam proses Ujian Kompetensi.
“Peran Perguruan Tinggi hanya ‘tukang stempel’ atas proses pelaksanaan Ujian Kompetensi yang dilakukan oleh Termohon (Kemendikbudristek) secara sepihak. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan semakin menambah kesemrawutan dalam dunia pendidikan tinggi kesehatan. Justru Pemohon sebagai perguruan tinggi dapat dituntut oleh mahasiswa yang telah dirugikan dengan terjadinya ketidakjelasan, kesimpang siuran dan adanya ketidak pastian sistem dan metode UKOMNAS ini yang dilakukan dan ditafsirkan tersebut,” ujar Didi.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 21 UU Nakes inkonstitusional sepanjang dimaknai ‘berdasarkanPermendikbud Nomor 2 Tahun 2020’. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 21 Nakes inkonstitusional selama dimaknai ‘tidak terdapat peran perguruan tinggi dalam menentukan kelulusan mahasiswa dalam uji kompetensi’.
“Menyatakan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 inkonstitusional selama dimaknai ‘ujian kompetensi dilaksanakan hanya oleh komite atau sebutan lain yang pada pokoknya adalah lembaga non perguruan tinggi’. Menyatakan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 inkonstitusional selama dimaknai ‘ujian kompetensi dilaksanakan dengan menghilangkan keterlibatan perguruan tinggi dan penerbitan sertifikat uji kompetensi tidak dikeluarkan oleh perguruan tinggi’,” tandas Didi.
Bukan Kewenangan MK
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan bahwa apabila suatu undang-undang telah ditafsirkan, maka itu bukanlah kewenangan MK.
“Jika melihat perihalnya, ini tempatnya bukan di sini karena permohonan uji tafsir. Apabila yang diuji Pasal 21 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 maka anda harus menguraikan bertentangan dengan Pasal 1, Pasal 27 dan Pasal 28D, “ ujar Arief. Selain itu, Arief juga meminta pemohon untuk menguraikan kerugian yang dialami oleh pemohon dan memasukkannya ke dalam kedudukan hukum.
Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel Y.P. Foekh menyarankan Pemohon untuk menguraikan identitasnya dan meminta Pemohon untuk memperbaiki teknik penulisan.
Sebelum menutup persidangan, Panel Hakim memberi waktu 14 hari kerja bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan selambatnya diterima pada 15 November 2021. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Fitri Yuliana