JAKARTA, HUMAS MKRI – Ketentuan yang mengatur mengenai jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi sebagaimana diatur dalam Pasal 169A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dinyatakan inkonsitusional bersyarat. Putusan dengan Nomor 64/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan oleh Muhammad Kholid Syeirazi selaku Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama dibacakan pada pada Rabu (27/10/2021) di Ruang Sidang Pleno MK dengan dihadiri para pihak secara virtual.
Baca juga: MK Gelar Tiga Perkara Pengujian UU Pertambangan Mineral dan Batubara
Ketua MK Anwar Usman yang membacakan Amar Putusan menyebutkan bahwa Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon II untuk sebagian. Selain itu, Mahkamah juga menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) UU Minerba sepanjang frasa “diberikan jaminan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dapat diberikan”. Kemudian, lanjut Anwar, Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU Minerba sepanjang kata “dijamin” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dapat”. Selanjutnya, Anwar menguraikan Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) UU Minerba selengkapnya berbunyi, “KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 dapat diberikan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan: …”.
“Menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, selengkapnya menjadi berbunyi: a. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi 175 setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara. b. kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dapat untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara,” urai Anwar.
Baca juga: Tiga Perkara UU Minerba Perbaiki Permohonan
Lelang bagi Swasta
Pemohon mempersoalkan Pasal 169A UU Minerba yang secara umum mengatur perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Terkait hal tersebut, Wakil Ketua MK Aswanto menjelaskan bahwa seleksi untuk pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) harus dilakukan secara ketat dan berpedoman pada ketentuan Pasal 75 UU Minerba.
Lebih jelas Aswanto menyebutkan, jika pada ketentuan Pasal 75 UU Minerba sejatinya telah jelas menyatakan pemberian IUPK pada badan swasta harus dilaksanakan dengan cara lelang Izin Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) tanpa membedakan kreiteria untuk badan usaha swasta dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, Mahkamah menilai ketentuan Pasal 169A UU Minerba berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian dengan semangat yang terdapat dalam Pasal 75 UU Minerba. Terlebih lagi, sambungnya, ketentuan tersebut membenarkan diberikannya jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian.
Baca juga: UU Pertambangan Mineral dan Batubara Digugat
Dengan arti kata, badan usaha yang melakukan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) secara otomatis mendapatkan jaminan perpanjangan menjadi IUPK. Dalam pandangan Mahkamah, KK maupun PKP2B adalah hubungan hukum yang bersifat privat yang harus sudah selesai pada saat jangka waktu perjanjian tersebut berakhir. Sehingga tidak ada lagi hubungan hukum antara Pemerintah dengan badan usaha swasta yang terdapat dalam KK maupun PKP2B untuk diberikan prioritas jaminan perpanjangan menjadi IUPK, kendati memenuhi persyaratan ketentuan Pasal 169A ayat (1) UU Minerba.
“Oleh karena itu, Pemerintah harus mulai melakukan penataan kembali pemberian izin dengan melakukan penertiban dengan skala prioritas sesuai amanat UU Minerba a quo,” sebut Aswanto dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Baca juga: Pemerintah: Perubahan UU Minerba Dilakukan Guna Memperbaiki Kontribusi Sektor Pertambangan
Menutup Peluang Usaha
Berkaitan dengan jaminan pemberian IUPK tersebut, Aswanto mengatakan hal tersebut juga menutup peluang badan usaha dalam negeri untuk berperan dalam memajukan perekonomian sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berpendirian bahwa frasa “diberikan jaminan” dalam Pasal 169A ayat (1) UU Minerba serta kata “dijamin” dalam Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU Minerba bertentangan dengan semangat penguasaan oleh negara dan memberikan peluang kepada badan usaha dalam negeri.
Dengan tidak mengurangi pemberian kesempatan pada badan usaha swasta untuk berkompetisi mendapatkan IUPK dan peran pemerintah agar mendapatkan badan usaha swasta yang benar-benar mempunyai kapabilitas dan integritas serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memenuhi prinsip-prinsip good corporate governance, maka frasa “diberikan jaminan” dalam Pasal 169A ayat (1) UU Minerba harus dimaknai dengan frasa “dapat diberikan” serta kata “dijamin” dalam Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU Minerba haruslah dimaknai dengan kata “dapat”.
“Maka ketentuan dalam Pasal 169A ayat (1) UU Minerba sepanjang frasa “diberikan jaminan” serta Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU Minerba sepanjang kata “dijamin” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon II beralasan menurut hukum untuk sebagian,” sebut Aswanto.
Baca juga: Ahli: UU Minerba Cacat Formil
Kehadiran Fisik dan Virtual
Pada sidang yang sama, Mahkamah juga memutus Perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan oleh Alirman Sori dan tujuh Pemohon lainnya. Mahkamah menolak untuk seluruhnya permohonan tersebut. Dalam Pertimbangan Hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah menyatakan dalil para Pemohon berkenaan dengan UU Minerba seharusnya dibuat dalam bentuk undang-undang penggantian, bukan undang-undang perubahan. Sehingga permohonan denikian dapat dinyatakan tidak beralasan menurut hukum. Bahwa para Pemohon menyatakan pihaknya dirugikan karena pembahasan UU Minerba dilakukan secara eksklusif dan tertutup dengan tanpa mengindahkan prinsip keterbukaan dan transparansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan DPD padahal sesuai dengan konstitusi, DPD mempunyai kewenangan membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
Atas hal ini, Mahkamah berpendapat Rapat Paripurna untuk pengesahan RUU Minerba dilaksanakan pada 12 Mei 2020 atau setelah tanggal ditetapkannya pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam. Menurut Mahkamah, kehadiran secara fisik dalam pengesahan RUU adalah tetap mutlak sepanjang tidak ada alasan yang kuat untuk menyimpangi syarat tersebut. Namun karena ada alasan yang kuat tersebut, maka kehadiran anggota secara virtual dalam rapat tersebut dapat dipersamakan dengan kehadiran secara fisik sehingga tetap memenuhi kuorum.
“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon mengenai pengesahan RUU Minerba dalam Rapat Paripurna DPR tidak memenuhi syarat adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Enny.
Baca juga: Ahli: Pemeriksaan Pengujian Formil dan Materiil Harus Dipisah
Mutatis Mutandis
Mahkamah juga menolak untuk seluruhnya Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Kurniawan. Pemohon mendalilkan jika substansi materi UU Minerba yang berisi ketentuan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam, yang dalam penyusunannya tidak melibatkan DPD RI.
Atas persoalan ini, dalam Pertimbangan Hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah telah menyatakan pembentukan UU Minerba tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XVIII/2020 mutatis mutandis yang menjadi bagian dari pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUUXVIII/2020. Oleh karenanya menurut Mahkamah prosedur pembentukan UU Minerba sesuai dengan UUD 1945. “Maka permohonan para Pemohon dalam perkara mengenai pengujian formil konstitusionalitas UU Minerba harus dinyatakan pula tidak beralasan menurut hukum,” tandas Arief. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Raisa Ayudhita