JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pada Senin (18/10/2021) di ruang Sidang Pleno MK secara daring. Agenda sidang perkara Nomor 49/PUU-XIX/2021 kali ini adalah perbaikan permohonan.
Sidang panel dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Akhmad selaku kuasa sekaligus suami Pemohon menyampaikan uji materi ke MK karena merasa tidak mendapatkan keadilan.
“Ketidakadilan yang selama ini kami rasakan, baik dari pengadilan tingkat pertama, sampai kasasi. Untuk itu apakah penerapan hukum yang dilakukan oleh pengadilan selama ini terhadap Pemohon, istri saya, apakah sudah benar?” kata Akhmad.
Akhmad lebih lanjut mengatakan, Pasal 55 KUHAP itu betul-betul tidak adil karena Pemohon hanya disuruh, diperintah oleh atasan yang berwenang yang. Namun, oleh penegak hukum, baik Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun hakim, Pemohon dikenakan hukum yang luar biasa beratnya.
“Padahal Pemohonnya hanya diperintah, semacam diperintah, bukan pelaku koruptor, dia bukan pelaku. Demi Allah, dia bukan pelaku, saya tahu persis istri saya,” terang Akhmad.
Berikutnya panel hakim memeriksa alat bukti yang diajukan Pemohon. Sebelum menutup persidangan, Ketua Panel Hakim Suhartoyo mengesahkan alat bukti Pemohon yaitu bukti P2-P13.
Perintah Atasan
Untuk diketahui, Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 49/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Tuti Atika yang sebelumnya berprofesi sebagai Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Tangerang. Adapun materi yang diujikan Pemohon yaitu Pasal 11 dan Pasal 12 huruf c UU Tipikor, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP terhadap Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
“Jadi, kami rasakan memang selama ini menurut kita itu ada kekeliruan, Pak, dalam penerapan hukum. Terutama Undang-Undang Tipikor, Pak. Saya katakan Undang-Undang Tipikor saja, ya, Pak, ya. Pasal 11 dan Pasal 12C, Pak. Karena dalam Pasal 11 dan Pasal 12C kalau saya baca analisa saya itu diperuntukkan untuk pejabat atau hakim pejabat, pejabat yang berwenang dan sah, sedangkan istri saya, Pemohon, adalah seorang Panitera, dia hanya pembantu dalam hubungan kerja, dia ada pembantu hakim, kalau hubungan struktural memang dia di bawah panitera kepala, tapi hubungan kerja dia adalah pembantu hakim. Jadi, otomatis dia adalah pembantu yang tidak punya kapasitas untuk memutuskan suatu perkara,” kata Akhmad selaku kuasa sekaligus suami Pemohon, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK, Senin (4/10/2021).
Lebih lanjut Akhmad menerangkan, Pemohon hanya diperintah hakim yang tidak adil mulai dari penuntutan hingga vonis putusan. Menurutnya, karena pemohon hanya membantu, maka tidak punya kapasitas untuk memutuskan suatu perkara.
Dalam permohonannya, Pemohon menerangkan bahwa profesi Pemohon sebelumnya adalah Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Tangerang. Pada 28 Agustus 2018, berdasarkan Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Serang, Pemohon dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun dan denda sejumlah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Pada 12 November 2018, Putusan Pengadilan Tinggi Banten menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Serang. Pemohon juga telah mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Serang, yang isi putusannya adalah ditolak.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK yang ditujukan kepada Pemohon adalah atas pelanggaran Pasal 11 dan 12 huruf c UU Tipikor. Berdasarkan fakta, Pemohon bukanlah menjabat sebagai “Hakim” namun hanya sebagai “Panitera Pengganti” yang berstatus Pegawai Negeri sehingga tidaklah dapat menurut hukum jika Pemohon dikualifikasikan sebagai orang yang ikut serta melakukan sebagaimana dimaksud didalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, karena apabila orang tersebut dikualifikasikan sebagai orang yang membantu melakukan, maka seharusnya dikenakan Pasal 56 KUHP, bukanlah Pasal 55 KUHP.
Menurut Pemohon, dasar pemidanaan dalam hukum pidana di Indonesia adalah dakwaan yang dimuat di dalam surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum, sehingga seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman atas perbuatan yang tidak didakwakan kepadanya. Oleh karena Pasal 56 KUHP tidak didakwakan, maka sudah seharusnya menurut hukum Pemohon juga harus dibebaskan dari dakwaan perkara tersebut.
Baca juga:
Mantan Panitera Pengganti Terpidana Korupsi Uji UU Tipikor dan KUHP
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.