JAKARTA, HUMAS MKRI – Undang-Undang sebagai produk legislatif merupakan sharing power DPR dan Presiden. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara FH Unpad, I Gde Pantja Astawa dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada Rabu (13/10/2021). Sidang lanjutan untuk Perkara Nomor 91, 103, 105, 107/PUU-XVIII/2020 dan Perkara Nomor 4, 6/PUU-XIX/2021. Agenda sidang adalah mendengarkan Keterangan Ahli DPR. Sidang pleno dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya.
“Undang-Undang sebagai produk legislatif merupakan sharing power DPR dan Presiden. Artinya, meskipun original power pembentukan undang-undang ada pada DPR, namun Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR,” ujar Astawa di hadapan Pleno Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Astawa pun menanggapi pengujian formil Perkara Nomor 91 dan 103/PUU-XVIII/2020. “Pengujian formil secara teoritis maupun praktik dipergunakan untuk menilai apakah produk legislatif seperti undang-undang, terjelma melalui tata cara prosedur sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak,” jelas Astawa selaku Guru Besar Hukum Tata Negara FH Unpad.
Dengan demikian, lanjut Astawa, pengujian formil berkenaan dengan hal-hal yang bersifat prosedural dalam pembentukan undang-undang. Dalam konteks pengujian formil suatu undang-undang di Indonesia, ungkapnya, secara atributif UUD 1945 menentukan garis besar tentang tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang, sebagaimana digariskan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) juncto ketentuan Pasal 20 UUD.
Baca juga: UU Cipta Kerja Dituding Jadikan Pendidikan sebagai Ladang Bisnis
Sejalan dengan Prosedur UUD 1945
Tata cara yang berkaitan pembahasan rancangan undang-undang, persetujuan dan pengesahan sampai pada pengundangannya diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) sampai ayat (5) UUD 1945. Dikatakan Astawa, sepanjang UUD 1945 dijadikan batu uji atau dasar pengujian formil terhadap UU Cipta Kerja, maka tata cara atau prosedur pembentukan UU Cipta Kerja sejalan dengan tata cara atau prosedur yang ditentukan dalam UUD 1945.
“Pertama, inisiatif pengajuan RUU Cipta Kerja berasal dari Presiden. Kedua, RUU inisiatif Presiden itu diajukan kepada DPR untuk dibahas dan disetujui bersama DPR dan Presiden. Ketiga, Presiden yang diberikan kewenangan secara atributif untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja yang telah disetujui bersama menjadi undang-undang tersebut, selanjutnya diundangkan dalam lembaran negara,” papar Astawa.
Permasalahan muncul ketika para Pemohon mendasari permohonan pengujian UU Cipta Kerja pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). “UU P3 itu sendiri merupakan undang-undang organik yaitu undang-undang yang dibentuk atas perintah ketentuan Pasal 22A UUD 1945 yang menyebutkan ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan UU P3 yang dijadikan alas hukum pengajuan permohonan pengujian formil UU Cipta Kerja, kata Astawa, semua pokok permohonan para Pemohon sudah direspon dan dijawab oleh DPR yang telah disampaikan dalam persidangan di MK.
Baca juga: MK Gelar Sidang Pengujian UU Cipta Kerja
Persetujuan Bersama Presiden dan DPR
Selanjutnya Muhammad Fauzan, Ahli DPR untuk Perkara Nomor 107/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 6/PUU-XIX/2021. Ditegaskan Fauzan, pilihan negara hukum secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945 yang menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
“Sebagai konsekuensi negara hukum, maka segala aktivitas masyarakat, termasuk di dalamnya penyelenggaraan kekuasaan negara. Baik yang meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif harus berlandaskan atas hukum,” ucap Fauzan selaku pakar hukum tata negara.
Baca juga: 15 Badan Hukum Perbaiki Permohonan Uji UU Cipta Kerja
Disampaikan Fauzan, tindakan atau perbuatan yang dilaksanakan oleh masyarakat atau kegiatan yang dilaksanakan oleh penyelenggara kekuasaan negara, apakah telah sesuai dengan hukum, maka mekanisme yang ditempuh adalah melalui pengujian kepada lembaga peradilan. Sebagaimana diketahui, kekuasaan negara di bidang legislatif, sering dipahami sebagai kekuasaan dalam pembentukan undang-undang.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 secara tegas menyatakan DPR memegang kekuasaan pembentuk undang-undang. Namun demikian, jika dilihat dari proses pembentukan sebuah undang-undang, maka diperlukan adanya kolaborasi, kerja sama antara Presiden dengan DPR.
“Hal tersebut dapat disimpulkan dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, bahwa setiap RUU harus dibahas bersama antara DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Jika RUU tidak mendapat persetujuan bersama, maka RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR pada masa itu,” urai Fauzan yang juga menjelaskan bahwa pengusulan RUU dapat diajukan oleh dua lembaga, baik Presiden maupun DPR.
Baca juga: Federasi dan Pekerja Industri Ujikan Proses Pembentukan UU Cipta Kerja
Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi
Sementara itu Ahli DPR, Yose Rizal Damuri hadir menanggapi permohonan Perkara 105/PUU-XVIII/2020 dan No. 4/PUU-XIX/2021. Dijelaskan Yose, peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan hal penting seperti diamanatkan dalam UUD 1945. Kesejahteraan yang lebih baik hanya bisa terjadi kalau aktivitas ekonomi memberikan manfaat yang cukup.
“Ternyata kita masih mempunyai tantangan yang cukup luas dan berat sekali untuk memberikan aktivitas ekonomi yang memberikan manfaat ekonomi yang cukup untuk masyarakat Indonesia. Terutama angkatan kerja di Indonesia,” jelas Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) tersebut.
Baca juga: Federasi Serikat Pekerja Tekstil Gugat UU Cipta Kerja
Berikutnya, Yose memberikan gambaran kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Sebagian besar angkatan kerja di Indonesia adalah pekerja-pekerja yang bekerja di sektor informal, yang bisa dibagi lagi bahwa sebagian besar adalah pekerja-pekerja yang tidak terikat dalam kontrak, ataupun yang tidak mempunyai kejelasan. Jumlah mencapai 27,4 juta orang pada 2018, di antaranya sebanyak 15 juta orang adalah pekerja keluarga yang sering tidak mendapat upah. “Begitu juga 18 persen atau 24 juta orang pada 2018 adalah orang-orang yang memiliki usaha kecil-kecilan, usaha perorangan yang tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi,” ungkap Yose.
Selain itu, kata Yose, dapat melihat karakteristik ketenagakerjaan Indonesia, terutama untuk pekerja-pekerja informal yang berpenghasilan rendah. Para pekerja informal sebagian besar adalah pekerja sendirian dan terpaksa melakukan wira usaha. Sedangkan penghasilan pengusaha informal pada 2018 hanya sekitar Rp1,7 juta per bulan. Sementara yang bekerja sebagai pekerja informal, hanya mendapat Rp1,3 juta per bulan.
Baca juga: Ahli Pemerintah: UU Cipta Kerja, Kebijakan untuk Antisipasi Dampak Negatif Era Globalisasi
Sebagaimana diketahui, para Pemohon Perkara 91/PUU-XVIII/2020 Hakimi Irawan Bangkid Pamungkas, dkk. melakukan pengujian formil UU No. 11/2020. Mereka mendalilkan, alasan Mahkamah Konstitusi memberikan tenggat 45 hari suatu undang-undang dapat diuji secara formil ke Mahkamah Konstitusi, adalah untuk mendapatkan kepastian hukum secara lebih cepat atas status suatu Undang-Undang apakah dibuat secara sah atau tidak. Sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Sementara para Pemohon Perkara 103/PUU-XVIII/2020 adalah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), diwakili oleh Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardian. Mereka melakukan pengujian formil UU No. 11/2020 dan pengujian materiil UU No. 11/2020 antara lain Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 59, Pasal 61, Pasal 61A, Pasal 66, dan Pasal 88.
Sedangkan para Pemohon Perkara 105/PUU-XVIII/2020 adalah Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia dan 12 Pemohon lainnya. Mereka melakukan pengujian formil dan pengujian materiil UU No. 11/2020 antara lain Bab IV Bagian Kedua: 1) Pasal 81 angka 1 (Pasal 13 ayat (1) huruf c UU No.13/2003) mengenai pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja perusahaan. Selain itu Pasal 81 angka 2 (Pasal 14 ayat (1) UU 13/2003) bahwa lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
Sementara permohonan Perkara Nomor 107 PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama 14 Pemohon lainnya. Para Pemohon juga melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja bertentangan dengan syarat formil pembentukan undang-undang dalam tahap perencanaan. UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas keterbukaan. Berikutnya, permohonan Nomor 4/PUU-XIX/2021 diajukan R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia serta 662 Pemohon lainnya. Permohonan ini memecahkan rekor sebagai permohonan dengan Pemohon terbanyak sepanjang sejarah pengujian UU di MK. Para Pemohon mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja.
Kemudian para Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 Riden Hatam Aziz dkk melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, pembentukan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kepastian hukum. Secara umum pembentukan UU a quo cacat secara formil atau cacat prosedur. Untuk itulah, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan membatalkan keberlakuan UU tersebut. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana/Lulu A.
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Raisa Ayudhita