JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (Permen PUEBI) pada Senin (11/10/2021) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara yang teregistrasi Nomor 52/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Ludjiono selaku pensiunan Dinas Kesehatan Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Sidang pertama perkara ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh bersama dengan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan M.P. Sitompul selaku hakim anggota sidang panel.
Ludjiono yang hadir dalam sidang secara daring dan tanpa didampingi kuasa hukum menyebutkan bahwa Permen Nomor 50/2015 tidak sesuai dengan Pasal 36 UUD 1945. Bahwa penggunaan huruf/abjad/aksara tanpa nama pada salinan lampiran norma tersebut. Akibatnya nama Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia tidak ditulis menggunakan ketentuan penulisan sesuai dengan Bahasa Indonesia. Untuk itu, Pemohon memohonkan agar Mahkamah memerintahkan Pemerintah untuk membentuk aksara Indonesia yang memiliki dasar hukum.
“Aksara Indonesia bisa diadopsi dari aksara yang ada di Nusantara. Saya usul aksara Indonesia diadopsi dari aksara Latin sehingga aksara Latin dnegan ejaan Bahsa Indoensia menjadi aksara Indonesia,” ujar Ludjiono.
Ketentuan Permohonan
Hakim Konstitusi Manahan dalam nasihat Majelis Hakim Panel memberikan catatan mengenai perlunya Pemohon untuk mempelajari aturan dan ketentuan pengajuan permohonan di MK untuk melakukan pengujian suatu norma. Sebab, dalam permohonan ini yang diajukan adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sehingga harus dicermati kembali Pasal 51 dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021 tentang ketentuan norma yang dapat diujikan oleh Pemohon ke MK. Berikutnya, Manahan meminta agar Pemohon untuk dapat membedakan Peraturan Menteri dan Undang-Undang. “Oleh karena itu, mohon dipelajari dulu sehingga sulit untuk menyusun norma yang akan diujikan. Dalam UU dikatakan yang diuji di MK adalah UU ataupun Perpu,” jelas Manahan.
Berikutnya, Manahan juga meminta Pemohon agar menegaskan kembali alasan permohonan dan petitum yang diajukan pada perkara ini. Lalu, Pemohon juga diharapkan dapat mempelajari hierarki peraturan perundang-undangan sehingga lebih memperjelas arah dan jalur yang akan ditempuh dalam memperoleh keadilan yang dibutuhkan oleh Pemohon.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin dalam nasihat hakim meminta agar Pemohon mempelajari kewenangan MK yakni menguji UU terhadap UUD 1945. Sedangkan pada permohonan ini, sambung Wahiduddin, Pemohon mengajukan pengujian Peraturan Menteri.
“Oleh karenanya Pemohon harus mengetahui lebih jelas dengan mempelajari dengan saksama dan mendiskusikan perihal pengajuan permohonan pada ahli hukum atau pihak yang dapat membantu permasalahan keadilan yang dibutuhkan oleh Pemohon,” jelas Wahidududin.
Pemohon diberikan waktu 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan. Sidang berikutnya beragendakan perbaikan permohonan. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Tiara Agustina