SURAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional "Peran Perguruan Tinggi dalam Membangun Integritas Kemanusiaan dan Kebangsaan Indonesia" yang berlangsung secara luring dan daring pada Jumat (8/10/2021) di Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta.
Kegiatan yang dihadiri para petinggi dan akademisi berbagai perguruan tinggi di Indonesia ini, juga dalam rangka peresmian Smart Board Mini Courtroom Universitas Sebelas Maret (UNS), Pancasakti Tegal, Universitas Soedirman (Unsoed), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).
“Tema dalam seminar nasional ini begitu aktual, menjadi bagian dari diskursus pemikiran yang penting dan menarik di tengah situasi kondisi berbangsa dan bernegara saat ini. Perguruan tinggi patut meneguhkan perannya dalam kerangka itu. Tidak dapat dipungkiri, perguruan tinggi memiliki peran paling strategis dan menentukan dalam pembangunan bangsa dan peradaban. Hal ini sama sekali tidak hendak mengesampingkan nilai arti peran pendidikan di level yang di bawahnya,” ujar Arief kepada para peserta seminar nasional, di antaranya hadir Kepala Biro Humas dan Protokol MK Heru Setiawan.
Oleh sebab itu, sambung Arief, menjadi wajar manakala diungkapkan bahwa potret peradaban suatu bangsa pada hari ini dan masa mendatang sesungguhnya tercermin dari wajah perguruan tinggi. Semakin baik wajah perguruan tinggi, semakin berperan perguruan tinggi, semakin dekat perguruan tinggi dengan solusi persoalan masyarakat, maka semakin tinggi pula tingkat peradaban suatu bangsa.
Peradaban Masa Depan
Dengan kata lain, kata Arief, perguruan tinggi memiliki posisi penting dan strategis bagi langkah maju, bahkan lompatan positif peradaban suatu bangsa. Sering pula dikatakan, perguruan tinggi tidak lain adalah proyek peradaban masa depan suatu negara. Dari perguruan tinggi inilah, akan lahir kaum cerdik cendekia, orang-orang dengan kapasitas keilmuan mumpuni, dan manusia-manusia yang turut berempati dan bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa ini.
“Itu sebabnya, perguruan tinggi merupakan institusi yang dipandang memiliki kredibilitas tinggi di mata publik. Mengapa demikian? Karena perguruan tinggi sejauh ini terbukti secara nyata masih selalu berpegang pada akar orisinilnya untuk berpikir dan bersikap kritis, obyektif, responsif menjadi problem solver, serta selalu menyuarakan kebenaran dan keadilan,” urai Arief.
Atas dasar itulah, ujar Arief, perguruan tinggi harus mampu meneguhkan peran untuk menghasilkan terobosan-terobosan konstruktif bagi peningkatan kualitas peradaban bangsa. Hal itu dilakukan melalui itu tiga ranah utama yang disebut sebagai tridarma perguruan tinggi. Dalam konteks keindonesiaan, perguruan tinggi bukan lagi hanya dituntut menjadi laboratorium ilmu, melainkan juga dituntut sekaligus diharapkan menjadi laboratorium kemanusiaan. Pengembangan karakter manusia Indonesia seutuhnya dalam arti karakter yang sesuai dengan pandangan dan nilai-nilai luhur kebangsaan yang tercermin dalam Pancasila.
Arief melanjutkan, dengan begitu, produk perguruan tinggi diharapkan menjadi figur manusia yang humanum, menghargai keberagaman, memiliki daya saing serta kemampuan berkolaborasi untuk menyongsong setiap situasi dan tantangan pada setiap zaman.
“Dengan kalimat lain, saya ingin mengatakan, dari perguruan tinggi inilah akan lahir generasi bangsa yang punya karakter pembaharu, memiliki tradisi intelektual yang kuat, berwawasan global tetapi tidak meninggalkan kearifan serta kepribadian luhur bangsa ini. Sebelum mengemukakan tema utama orasi ilmiah sebagaimana yang tadi saya kemukakan, saya ingin mengajak kita semua untuk mengingat, dan memahami kembali dengan baik amanat Undang-Undang Dasar 1945, terutama terkait dengan bidang pendidikan,” ucap Arief.
Dikatakan Arief, filosofi konstitusional “mencerdaskan kehidupan bangsa” itulah yang harus dijadikan dasar penyelenggaraan pendidikan oleh perguruan tinggi yang bukan saja bertujuan mengembangkan kemampuan akademis, melainkan juga membentuk watak dan karakter keindonesiaan sebagai bangsa yang bermartabat. Dengan demikian, pengembangan dan peningkatan peran perguruan tinggi, baik pada kini maupun pada masa mendatang, harus bertitik tolak dan sekaligus berorientasi pada landasan filosofis tersebut.
Berhukum di Indonesia
Lebih lanjut Arief menyampaikan bahwa berhukum di Indonesia berbeda dengan berhukum di negara-negara lain. Ia membandingkan Indonesia dengan dua negara yang mayoritas penduduknya yang beragama Islam. Negara tersebut adalah Turki dan Pakistan. Namun menurut Arief, dalam menyelenggarakan hukum, dua negara itu berbeda. Turki bernegara dengan memisahkan antara negara dan agama, sehingga negara Turki diletakkan dalam posisi sekuler. Sedangkan Pakistan menjadikan Islam sebagai dasar bernegara, maka lahirlah negara Pakistan berdasarkan prinsip-prinsip agama Islam.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Dijelaskan Arief, selain menerapkan prinsip demokrasi dan nomokrasi, Indonesia juga menerapkan prinsip teokrasi yang berdasarkan sinergi dari agama-agama dan kepercayaan asli yang hidup di Indonesia. Dengan demikian, berhukum di Indonesia tidak sekuler dan tidak berdasarkan pada agama tertentu. Namun, berhukum di Indonesia, irah-irahnya berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa atau harus selalu disinari Ketuhanan yang Maha Esa. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P