JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pada Senin (4/10/2021) di ruang Sidang Pleno MK secara daring. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 49/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Tuti Atika yang sebelumnya berprofesi sebagai Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Tangerang.
Adapun materi yang diujikan Pemohon yaitu Pasal 11 dan Pasal 12 huruf c UU Tipikor, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP terhadap Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Sidang panel dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo. Akhmad selaku kuasa Pemohon mengatakan permohonan ini diajukan sebagai upaya hukum untuk memperoleh keadilan. Akhmad yang juga merupakan suami Pemohon mengatakan pihaknya tidak memperoleh keadilan dalam penerapam hukum.
“Jadi, kami rasakan memang selama ini menurut kita itu ada kekeliruan, Pak, dalam penerapan hukum. Terutama Undang-Undang Tipikor, Pak. Saya katakan Undang-Undang Tipikor saja, ya, Pak, ya. Pasal 11 dan Pasal 12C, Pak. Karena dalam Pasal 11 dan Pasal 12C kalau saya baca analisa saya itu diperuntukkan untuk pejabat atau hakim pejabat, pejabat yang berwenang dan sah, sedangkan istri saya, Pemohon, adalah seorang Panitera, dia hanya pembantu dalam hubungan kerja, dia ada pembantu hakim, kalau hubungan struktural memang dia di bawah panitera kepala, tapi hubungan kerja dia adalah pembantu hakim. Jadi, otomatis dia adalah pembantu yang tidak punya kapasitas untuk memutuskan suatu perkara,” kata Akhmad.
Lebih lanjut Akhmad menerangkan, Pemohon hanya diperintah hakim yang tidak adil mulai dari penuntutan hingga vonis putusan. Menurutnya, karena pemohon hanya membantu, maka tidak punya kapasitas untuk memutuskan suatu perkara.
“Jadi semua saya lihat dari mulai pasal Tipikor Pasal 11 dan Pasal 12C maupun Pasal 64 maupun Pasal 51, itu semua diperuntukkan kalau menurut analisa saya diperuntukkan untuk pejabat yang sah dan berwenang. Jadi alangkah ruginya selama ini kalau diterapkan hukum tersebut, pasal-pasal tersebut digunakan seandainya, mohon maaf, Bapak, mohon maaf digunakan misalnya, seorang koruptor misalnya, menyuruh seorang pembantu atau sopir kayak, gitu, sehingga sopir tersebut disamakan hukumannya dengan pelaku koruptor tadi, Pak,” terang AKhmad.
Dalam permohonannya, Pemohon menerangkan bahwa profesi Pemohon sebelumnya adalah Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Tangerang. Pada 28 Agustus 2018, berdasarkan Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Serang, Pemohon dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sejumlah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Pada 12 November 2018, Putusan Pengadilan Tinggi Banten menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Serang. Pemohon juga telah mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Serang, yang isi putusannya adalah ditolak.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK yang ditujukan kepada Pemohon adalah atas pelanggaran Pasal 11 dan 12 huruf c UU Tipikor. Berdasarkan fakta, Pemohon bukanlah menjabat sebagai “Hakim” namun hanya sebagai “Panitera Pengganti” yang berstatus Pegawai Negeri sehingga tidaklah dapat menurut hukum jika Pemohon dikualifikasikan sebagai orang yang ikut serta melakukan sebagaimana dimaksud didalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, karena apabila orang tersebut dikualifikasikan sebagai orang yang membantu melakukan, maka seharusnya dikenakan Pasal 56 KUHP, bukanlah Pasal 55 KUHP.
Oleh karena dasar pemidanaan dalam hukum pidana di Indonesia adalah dakwaan yang dimuat di dalam surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum, sehingga seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman atas perbuatan yang tidak didakwakan kepadanya. Oleh karena Pasal 56 KUHP tidak didakwakan, maka sudah seharusnya menurut hukum Pemohon juga harus dibebaskan dari dakwaan perkara tersebut.
Penulis: Utami ARgawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.