JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999) untuk seluruhnya. Demikian Putusan Nomor 31/PUU-XIX/2021 dibacakan pada Rabu (29/9/2021) secara daring di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Lee Yang Hun yang merupakan seorang WNI naturalisasi dan berprofesi sebagai seorang pengusaha .
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat memimpin sidang pengucapan putusan dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah mengatakan ketentuan norma Pasal 76 KUHP dan Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999 mengandung asas ne bis in Idem yang merupakan asas universal dan berlaku pada setiap sistem hukum termasuk di Indonesia. Dalam hukum Perdata asas ne bis in idem dapat dikenal dengan sebutan Res judicata atau exceptie van gewijsde zaak yang pada intinya adalah pada perkara dengan objek sama, para pihak sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diajukan dan diadili kembali untuk kedua kalinya.
Menurut Mahkamah, sambung Suhartoyo, substansi ketentuan norma Pasal 76 KUHP maupun Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999 mengatur terkait dengan perkara pidana yang diputus oleh pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak dapat diadili kembali untuk kedua kalinya. Hal itu berarti bahwa terhadap perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut sudah tidak dapat dilakukan lagi upaya hukum (banding dan kasasi atau peninjauan kembali) yang mengubah putusan pengadilan dimaksud dan membawa kosekuensi hukum terhadap terdakwa tidak dapat dituntut untuk perkara yang sama dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya, ketika putusan pengadilan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap maka terhadap terdakwa tersebut terbuka kemungkinan atau berpotensi untuk dilaporkan, dijadikan tersangka dan didakwa kembali oleh aparat lenegak hukum dalam perkara yang berbeda ataupun perkara yang sama, meskipun untuk kepastian ada atau tidaknya pelanggaran asas ne bis in idem baru akan diketahui setelah adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
“Apabila dikaitkan dengan kasus Pemohon a quo, sesuai bukti dan fakta yang terungkap di persidangan, maka tanpa bermaksud menilai dan mengaitkan dengan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon, telah ternyata Mahkamah tidak menemukan bukti, bahwa terhadap Pemohon perkaranya telah ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebab, berdasarkan fakta-fakta hukum dalam persidangan Mahkamah tidak menemukan satu pun alat bukti yang membuktikan bahwa perkara yang dialami oleh Pemohon sudah memiliki putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht Van gewijsde),” papar Suhartoyo.
Suhartoyo mengungkapkan karena berdasarkan bukti-bukti yang diajukan di persidangan, khususnya pengakuan Pemohon sendiri dalam permohonannya telah ternyata perkara yang dialami Pemohon telah diputus oleh Pengadilan Negeri Kota Bekasi Nomor 583/Pid.B/2020/PN.Bks. tanggal 12 April 2021 yang saat ini masih diajukan upaya hukum kasasi.
“Sementara itu terhadap perkara kedua yang didalilkan oleh Pemohon sebagai perkara yang sama dengan Perkara Nomor Register 583/Pid.B/2020/PN.Bks, juga ternyata saat ini sedang memasuki tahap persidangan di Pengadilan Negeri Bekasi. Oleh karena itu, sesungguhnya terhadap dua perkara tersebut belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap,” urai Suhartoyo.
Baca juga: Ditahan Dua Kali untuk Kasus yang Sama, WNI Hasil Naturalisasi Uji KUHP
Beri Perlindungan dan Kepastian Hukum
Lebih lanjut Suhartoyo menerangkan, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 memberi jaminan hak kepada setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Oleh karena itu, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum juga terdapat dalam norma Pasal 76 KUHP dan Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999.
Sebab, sambung Suhartoyo, dengan adanya frasa “dengan putusan yang menjadi tetap“ yang termuat di dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP dan frasa “bila putusan menjadi tetap” yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) KUHP, serta frasa “putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap“ yang termuat di dalam Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999 justru memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada seseorang yang menjadi terdakwa untuk tidak dituntut kedua kalinya terhadap dugaan peristiwa pidana yang tempus delicti, locus delicti dan substansi perbuatan pidana yang didakwakan sama, karena telah adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak terdapat upaya hukum lagi untuk diubahnya.
“Apabila argumentasi Pemohon yang didalilkan diikuti oleh Mahkamah dengan menyatakan frasa “dengan putusan yang menjadi tetap“ yang termuat dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP dan frasa “bila putusan menjadi tetap” yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) KUHP, serta frasa “putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap“ yang termuat dalam Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka hal tersebut justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil bagi terdakwa. Sebab, ketika perkara telah diputus dan putusan telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap maka apabila terdakwa kemudian dilaporkan, ditersangkakan dan diterdakwakan kembali dengan tempus delicti, locus delicti, dengan substansi perbuatan pidana yang diduga sama, hal tersebut jelas melanggar hak konstitusional setiap orang yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,”tegasnya.
Sehingga hal yang terjadi pada Pemohon menurut Mahkamah, bukan persoalan konstitusionalitas norma yang berkenaan dengan frasa “dengan putusan yang menjadi tetap“ yang termuat dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP dan frasa “bila putusan menjadi tetap” yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) KUHP, serta frasa “putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap“ yang termuat dalam Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999, melainkan jikalaupun hal tersebut benar terjadi tindakan demikian adalah merupakan hal yang berkaitan dengan penerapan hukum yang bisa saja terjadi dalam konteks implementasi sebuah norma.
Baca juga: WNI Hasil Naturalisasi Uji KUHP Perbaiki Permohonan
Tidak Berkaitan dengan Konstitusionalitas
Selain itu, Suhartoyo juga mengatakan bahwa pertimbangan Mahkamah a quo, sekaligus untuk menjawab dalil Pemohon yang berpendapat tindakan penegak hukum yang menjadikan Pemohon sebagai tersangka untuk kedua kalinya dengan substansi perbuatan pidana yang sama, baik tempus delicti maupun locus delicti serta pelapor yang sama adalah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dalil yang tidak relevan dengan konstitusionalitas norma a quo.
Terkait dengan dalil Pemohon selebihnya yaitu berkaitan dengan frasa a quo memberikan peluang kepada penyidik untuk “memutilasi” pasal-pasal yang menjadi dasar pelaporan oleh pelapor dan hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 63 ayat (1) KUHP, Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 65 ayat (2) KUHP, menurut Mahkamah, hal itupun juga tidak berkaitan dengan konstitusionalitas frasa “dengan putusan yang menjadi tetap“ yang termuat dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP dan frasa “bila putusan menjadi tetap” yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) KUHP, serta frasa “putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap“ yang termuat dalam Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999. Sebab, jika yang diasumsikan Pemohon tersebut benar, di samping hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menilainya, juga bila ada pertentangannya dengan norma Pasal 63 ayat (1) KUHP, Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 65 ayat (2) KUHP, maka apabila yang didalilkan oleh Pemohon dimaksud benar, hal tersebut dapat dilakukan pengujian tersendiri sepanjang ditemukan adanya alasan tidak harmonisnya antara undang-undang satu dengan yang lainnya dan Pemohon dapat mendalilkan adanya pertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, frasa “dengan putusan yang menjadi tetap“ yang termuat dalam norma Pasal 76 ayat (1) KUHP dan frasa “bila putusan menjadi tetap” yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) KUHP, serta frasa “putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap“ yang termuat dalam Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Sebelumnya, Pemohon adalah seorang WNI naturalisasi yang berprofesi sebagai pengusaha yang telah menjalankan usaha di Indonesia. Namun, Pemohon telah mengalami dan menjalani perlakuan hukum yang sangat tidak adil dan merasa tidak adanya kepastian hukum di Indonesia. Pemohon berdalih dirinya mengalami perlakuan dan pengalaman didakwa, dituntut, dipenjara/ditahan, serta disidangkan masing-masing sebanyak 2 (dua) kali dengan dasar Laporan Polisi dan oleh Pelapor yang sama. Hal ini dinilai Pemohon berpotensi akan membuat dirinya diperlakukan hal yang serupa, yakni akan disangka, didakwa dan dituntut dan dilakukan penahanan serta disidangkan berkali-kali sesuai selera Penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum.
Menurut Pemohon, tidak adanya kejelasan dalam penegakan hukum sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU HAM. Hal ini terjadi akibat pergeseran nilai-nilai perihal asas nebis in idem sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHP serta Pasal 18 ayat (5) UU HAM. Lebih lanjut ia menjelaskan, asas ne bis in idem adalah merupakan prinsip dasar dalam sistem peradilan pidana di berbagai negara yang menganut sistem Eropa Kontinental. Sedangkan di beberapa negara yang menganut sistem common law dikenal dengan asas double jeopardy yang pada prinsipnya bahwa seseorang tidak dapat dituntut dua kali untuk tindak pidana yang sama.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, serta Pasal 18 ayat (5) HAM bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Pemohon meminta agar Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHP serta Pasal 18 ayat (5) UU HAM dianggap diperlukan dalam pertimbangan hukum di Indonesia agar frasa “putusan yang menjadi tetap” atau “putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap“ dinyatakan dihapus. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Fitri Yuliana