JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 26/PUU-XIX/2021 menyatakan menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), pada Rabu (29/9/2021) dalam persidangan di MK yang digelar secara daring. Permohonan pengujian UU BPK ini diajukan oleh eks Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina (DP Pertamina), Muhammad Helmi Kamal Lubis.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat memimpin sidang pengucapan putusan dengan didampingi delapan hakim konstitusi.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, terhadap dalil Pemohon berkenaan dengan frasa “Lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara” dalam Pasal 6 ayat (1) juncto frasa “lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara” dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK apabila dikabulkan oleh Mahkamah hal tersebut justru akan membatasi kewenangan BPK dalam melakukan pemeriksaan keuangan terhadap lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara termasuk kewenangan untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian yang dilakukan oleh bendahara pengelola lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Oleh karenanya, apabila norma a quo diubah maka akan berakibat tidak utuhnya, bahkan berubahnya konstruksi hukum tugas dan kewenangan BPK dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, termasuk dalam pelaksanaan audit keuangan terhadap lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
“Dalil Pemohon dalam permohonan a quo adalah bentuk kekhawatiran Pemohon atas keterlibatan BPK dalam pemeriksaan terhadap keuangan Dana Pensiun yang pendirinya adalah BUMN sebagaimana kasus konkret yang dihadapi Pemohon. Dalam kaitan ini, Mahkamah tidak berwenang menilai suatu kasus konkret. Kewenangan Mahkamah adalah menguji norma suatu undang-undang terhadap UUD 1945, yang mana Putusan Mahkamah atas pengujian tersebut bersifat final dan mengikat serta berlaku dengan prinsip erga Omnes, “ujar Enny.
Sehingga berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, sambung Enny, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali putusan-putusan Mahkamah sebelumnya yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XVI/2018, karena ihwal yang dipersoalkan oleh Pemohon sejatinya tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan-putusan tersebut bahwa BPK berwenang melakukan pemeriksaan terhadap semua subjek hukum apapun sepanjang di dalamnya terdapat pengelolaan keuangan negara, baik langsung maupun tidak langsung. Terlebih lagi jika ada dugaan perbuatan penyalahgunaan keuangan negara maka BPK berwenang melakukan pemeriksaan (audit).
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Enny melanjutkan, oleh karena secara substansial tidak terdapat alasan konstitusional baru yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan dengan norma a quo sehingga Mahkamah tetap pada pendiriannya sebagaimana telah dinyatakan dalam putusan-putusan Mahkamah. Oleh karenanya, berkenaan dengan pengertian keuangan negara dan ruang lingkup kewenangan BPK dalam memeriksa keuangan negara, tidak ada relevansinya lagi untuk mempersoalkan konstitusionalitas norma dimaksud.
Lebih lanjut Enny mengatakan, terhadap hal-hal lain dari dalil Pemohon tidak dipertimbangkan karena tidak ada relevansinya sehingga sesungguhnya dalil yang tidak dipertimbangkan tersebut adalah dalil yang dengan sendirinya sudah tercakup dalam persoalan pokok permohonan a quo yang pada hakikatnya merupakan pengertian keuangan negara dan kewenangan BPK untuk memeriksa (audit) pengelolaan keuangan negara yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XVI/2018 dan ditegaskan kembali dalam putusan a quo. Sedangkan, dalil-dalil lain yang berkaitan dengan kasus konkret yang dialami maupun yang dijadikan contoh oleh Pemohon dalam permohonan a quo adalah bukan kewenangan Mahkamah untuk menilainya.
***
Untuk diketahui, Muhammad Helmi Kamal Lubis (Pemohon) mengujikan frasa “lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara” dalam Pasal 6 ayat (1) juncto frasa “lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara” dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK.
Pasal 6 ayat (1) UU BPK menyatakan, “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.” Pasal 10 ayat (1) UU BPK menyatakan, “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.”
Muhammad Helmi Kamal menganggap hak konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, potensial dirugikan oleh berlakunya norma UU BPK tersebut. Muhammad Helmi Kamal Lubis sejak Agustus 2013 ditunjuk sebagai Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina (DP Pertamina) kemudian berhenti sejak 12 Januari 2016. Saat ini Pemohon sedang menjalani hukuman karena dianggap telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi.
Pemeriksaan BPK dan tuduhan korupsi keuangan negara terhadap DP Pertamina yang dialamatkan kepada Pemohon bermula dari adanya pemeriksaan investigatif terhadap DP Pertamina, khususnya terkait dengan pembelian saham PT Sugih Energy, Tbk (saham SUGI) di BEI dan adanya pemahaman BPK mengenai kekayaan DP Pertamina adalah bagian dari kekayaan negara dan/atau keuangan negara. Padahal kekayaan DP Pertamina antara lain dihimpun dari iuran pemberi kerja, sedangkan kekayaan DP Pertamina terpisah dari kekayaan pendirinya maka dalam pemeriksaan dan pengawasan teknis dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sedangkan pemeriksaan keuangan internal dilakukan oleh akuntan publik dan bukan BPK.
Menurut Pemohon, kewenangan BPK yang diatur berdasarkan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) UU 15/2006, secara normatif BPK hanya memiliki tugas dan kewenangan dalam memeriksa sampai dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau badan lain yang mengelola keuangan negara;
Oleh karena itu, menurut Pemohon, dengan tidak adanya tafsir yang jelas dan tegas terhadap ketentuan sebagaimana tersebut di atas, dalam praktik dapat menimbulkan kesewenang-wenangan hukum yang mengakibatkan adanya perlakuan yang berbeda antara anak perusahaan BUMN yang satu dengan anak perusahaan BUMN yang lain. Bahkan terhadap perusahaan yang secara jelas dan tegas dalam Anggaran Dasar bukan merupakan anak perusahaan BUMN dan tidak mengelola keuangan negara, melainkan mengelola dana pensiun suatu BUMN yang berasal dari iuran pegawai BUMN, namun justru dikategorikan sebagai keuangan negara dan menjadi objek pemeriksaan. BPK menemukan adanya penyimpangan dan Pemohon faktanya telah menjadi terpidana korupsi karena disebabkan oleh norma hukum yang tidak jelas atau tidak tegas yang ditafsirkan secara berbeda oleh badan negara (dalam hal ini BPK) yang melebihi kewenangannya untuk melakukan audit investigatif yang berdampak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF