JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (27/9/2021). Agenda sidang Perkara Nomor 16/PUU-XIX/2021 ini adalah mendengarkan keterangan DPR dan tiga Ahli Pemohon.
Anggota Komisi III DPR RI Supriansa mengatakan UU No. 7 Tahun 2017 dibentuk untuk menyederhanakan dan menyelaraskan serta menggabungkan pengaturan pemilu yang termuat dalam tiga UU yaitu UU No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 5/2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu dan UU No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD.
“Selain itu, UU No.7/2017 dibentuk untuk menjawab dinamika terkait pengaturan penyelenggaraan dan peserta pemilu, sistem pemilihan, manajemen pemilihan, dan penegakan hukum dalam satu undang-undang yaitu UU a quo,” kata Supriansa.
Tindak Lanjut Putusan MK
Penyelenggaraan pemilu serentak merupakan tindak lanjut Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Putusan MK ini menurut pembuat UU sudah selaras dengan Pasal 10 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menentukan bahwa salah satu materi yang harus diatur dalam UU berisi tindak lanjut atas Putusan MK.
“Tindak lanjut atas Putusan MK tersebut telah dilakukan oleh DPR bersama Presiden dengan membentuk UU Pemilu,” jelas Supriansa kepada pleno hakim konstitusi yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
DPR mengungkapkan, MK telah menyatakan pendiriannya mengenai lima pilihan model keserentakan pemilu yang dijabarkan MK dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019. MK juga menegaskan penentuan model pemilu serentak mana yang akan digunakan adalah wewenang pembentuk UU untuk memutuskannya.
“Oleh karena itu, menurut DPR, dalil-dalil Pemohon sudah seharusnya menjadi gugur dan tidak dipertimbangkan lagi oleh MK,” kata Supriansa.
DPR berpandangan, para Pemohon pernah mengujikan dalam permohonan No. 37/PUU-XVII/2009 dan permohonan No. 55/PUU-XVII/2019 berkaitan dengan norma keserentakan pemilu dan alasan-alasan yang tidak didasarkan pada alasan-alasan konstitusional yang berbeda dengan permohonan-permohonan sebelum permohonan a quo. Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat 2 Peraturan MK No. 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengujian Undang-Undang, adalah nebis in idem.
Penjadwalan Pemilu
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini hadir sebagai Ahli Pemohon. Titi mengatakan, merupakan keniscayaan pemilu Indonesia terus melakukan pembenahan dalam hampir semua aspek penyelenggaraan. Pembenahan mulai dari kerangka hukum yang semakin tegas, kelembagaan yang semakin kokoh, maupun instrumen keadilan yang elektoral yang didesain lebih komprehensif.
“Namun di tengah dinamika dan kemajuan elektoral yang ada, pemilu Indonesia masih menyisakan anomali atau patologinya tersendiri. Hal yang pada dasarnya terjadi sebagai konsekuensi atas pilihan penjadwalan pemilu yang telah diputuskan oleh pembuat undang-undang,” ujar Titi.
Disampaikan Titi, pilihan penjadwalan pemilu yang pada praktiknya lantas mengakibatkan kompleksitas dan kerumitan teknis luar biasa, sehingga mendistorsi asas kedaulatan rakyat dan upaya untuk mewujudkan pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan demokratis sebagaimana diamanatkan oleh UUD Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945.
Titi menyoroti kompleksitas pemilu akibat memasukkan Pemilu DPRD dalam satu jadwal dengan Pemilu DPR.
“Kewajiban kita dalam menyelenggarakan pemilu untuk menjaga kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, kemurnian suara pemilih harus dipastikan betul-betul diterjemahkan dengan baik sesuai dengan apa yang dikehendaki pemilih ketika diberikan di bilik suara,” ucap Titi.
Selanjutnya Titi menyoroti distorsi pemenuhan asas jujur dan adil sebagai dampak penggabungan Pemilu DPRD dalam jadwal yang sama dengan Pemilu DPR. Pada awalnya Pemilu DPRD yang berbarengan dengan Pemilu DPR telah berlangsung sejak 1971.
“Pada waktu itu penggabungan Pemilu DPRD dan Pemilu DPR merupakan pilihan yang logis, rasional dan relevan. Pada Pemilu 1955 dipisahkan antara Pemilu DPR dengan Pemilu Konstituante, meskipun di tahun yang sama dan bulan yang berbeda. Kemudian Pemilu DPRD pada 1957 dan 1958 secara bertahap,” urai Titi.
Beban Kerja Penyelenggara
Ahli Pemohon berikutnya adalah Ferry Kurnia Rizkyansyah. Ferry memulai uraian dengan berbagi pengalamannya saat menjabat komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Berangkat dari pengalaman saya sebagai penyelenggara pemilu dengan menggabungkan empat pemilu legislatif memang sudah terjadi sejak Pemilu 2004,” ungkap Ferry yang dikenal sebagai pengamat pemilu.
Ferry menjelaskan, rangkaian tahapan pemilu yang berjalan sebagai sebuah siklus harus diakui bahwa beban kerja para penyelenggara pemilu sangat ditentukan oleh jumlah jenis pemilihan yang dilaksanakan secara sekaligus. Tahapan-tahapan pelaksanaan pemilu yang sangat terdampak dengan dilaksanakan pemilu legislatif, seperti tahapan pendaftaran dan verifikasi parpol calon peserta pemilu, proses pendaftaran dan verifikasi calon anggota legislatif, tahapan manajemen logistik pemilu dan lainnya, serta dilaksanakan berhimpitan dengan tahapan pemilu lainnya.
“Di sebagian besar tahapan-tahapan yang mengalami tantangan berat ini memang melibatkan PPK, PPS, KPPS, terutama dalam tahapan manajemen logistik dan pemungutan, penghitungan serta rekapitulasi suara. Hanya saja, tantangan berat serta persoalan-persoalan yang muncul dalam pelaksanaan pemilu legislatif, khususnya yang berkaitan dengan beban kerja penyelenggara pemilu belum terlalu mengemuka,” papar Ferry.
Menurut Ferry, ada dua alasan terkait beban kerja penyelenggara pemilu yang belum terlalu mengemuka. Alasan pertama, euforia pemungutan suara secara langsung pertama kali pada 2004, setelah dilaksanakan amendemen UUD 1945.
“Alasan kedua, Pemilu Legislatif tidak begitu mendapat sorotan karena pelaksanaannya terpisah dari Pemilu Presiden. Selain itu, elemen bangsa ketika itu lebih fokus memberi perhatian kepada Pemilu Presiden secara langsung untuk pertama kali dilaksanakan dalam sejarah kepemiluan di Indonesia,” tegas Ferry.
Waktu Panjang Beban Bertambah
Pemohon juga menghadirkan Kris Nugroho sebagai Ahli. Kris mengatakan bahwa tujuan pemilu adalah sirkulasi kepemimpinan politik. Kekuasaan tidak terus-menerus atau mutlak. Pemilu mengandung pesan bahwa sirkulasi elit merupakan konsensus yang dilandasi oleh adab normatif yang mengikat masyarakat politik.
“Oleh karena itu, harus dijunjung tinggi oleh semua pihak yang menjadi bagian dari masyarakat politik tersebut,” kata Kris selaku pakar politik.
Dalam konteks Indonesia, ujar Kris, pemilu merupakan pesan konstitusional mulai dari wujud bentuk kedaulatan rakyat yang sepenuhnya untuk memilih wakil rakyat, dan memilih presiden dan wakil presiden secara periodik. Hasil proses pemilu ini menghasilkan para wakil rakyat maupun pimpinan nasional yang sah yang dipilih melalui pemilu.
“Pesan Konstitusi tersebut memiliki makna bahwa pemilu merupakan instrumen kelembagaan untuk memilih pemimpin-pemimpin bangsa yang kredibel dan konstitusionalitas tinggi serta legitimate,” jelas Kris.
Dikatakan Kris, lembaga yang bertugas melaksanakan dan menyelenggarakan pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Hal ini sesuai ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU terikat pada etika dan nilai yang harus dijunjung tinggi dalam menyelenggarakan pemilu agar pemilu berjalan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dalam menjalankan tugasnya, KPU menjalankan prinsip-prinsip antara lain independensi, imparsialitas, integritas, transparansi, mengutamakan pada pelayanan publik.
Desain lima kotak suara dalam Pemilu Serentak 2019, ungkap Kris, membutuhkan waktu yang panjang dan membuat beban kerja penyelenggara pemilu menjadi bertambah, bekerja melebihi batas waktu teknis operasional dan penyelenggaraan. Hal inilah yang menyebabkan kelelahan fisik dan mental yang luar biasa bagi penyelenggara pemilu.
Sebagaimana diketahui, permohonan Perkara Nomor 16/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Akhid Kurniawan, Dimas Permana Hadi, Heri Darmawan, dan Subur Makmur. Para Pemohon melakukan pengujian Pasal 167 ayat (3), dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu. Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu menyatakan, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional”. Sedangkan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak.”
Para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang pada Pemilu 2019 bertugas sebagai penyelenggara pemilu di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Akhid Kurniawan adalah KPPS di TPS No. 024, Kelurahan Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Dimas Permana Hadi adalah PPK di Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Slemen, DI Yogyakarta. Heri Darmawan adalah PPK di Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat. Kemudian Subur Makmur adalah PPS di Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (9/6/2021), Kahfi Adlan Hafiz selaku kuasa hukum Pemohon memaparkan beban kerja para Pemohon sebagai penyelenggara pemilu di tingkat KPPS, PPK, PPS pada Pemilu 2019. Kahfi mengungkapkan, terdapat persoalan yang sangat penting dan mendasar terkait beban kerja penyelenggara pemilu.
“Beban kerja penyelenggara pemilu, khususnya penyelenggara di tingkat KPPS, PPK, dan PPS yang menurut para Pemohon sangat berat, tidak rasional, dan tidak layak,” kata Kahfi.
Beban yang sangat berat dan tidak rasional tersebut, jelas Kahfi, disebabkan oleh penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara serentak dalam format lima jenis surat suara dalam waktu yang bersamaan yakni Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Berdasarkan pengalaman Akhid Kurniawan (Pemohon I), lanjut Kahfi, tugas KPPS dalam penyelenggaraan pemilu, tidak hanya dilaksanakan pada hari H pemungutan suara saja. Petugas KPPS, sudah mulai bertugas paling tidak sejak H-3 sebelum hari pemungutan suara. Pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan mulai dari proses penerirnaan dan pengamanan logisitik pemilu, dan membangun lokasi TPS. Pada hari berikutnya, langsung secara berturut-turut menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara untuk lima jenis surat suara sekaligus.
Persoalan konstitusional yang diajukan oleh para Pemohon ke Mahkamah, berkaitan langsung dengan kedudukan para Pemohon sebagai penyelenggara Pemilu 2019. Kendati demikian, Para Pemohon bertekad akan kembali berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu di baik di level KPPS, PPK, PPS pada Pemilu 2024. Persoalan konstitusionalitas ini juga akan berdampak pada kepentingan yang lebih luas, khususnya terkait dengan beban kerja penyelenggara pemilu ad hoc di seluruh wilayah Indonesia untuk penyelenggaraan Pemilu 2024, khususnya KPPS, PPK dan PPS pada tahapan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara, yang punya kaitan langsung agar penyelenggaraan pemilu bisa berjalan sesuai dengan daulat rakyat, pemilu yang jujur, adil, serta beban kerja penyelenggara pemilu yang lebih rasional, layak, dan manusiawi.
Baca juga:
Penyelenggara Pemilu Persoalkan Beban Kerja Pemilu Serentak
Permohonan Uji Pemilu Serentak Diperbaiki
Pemerintah dan KPU Beri Keterangan Ihwal Pemilu Serentak
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Humas: Tiara Agustina.
Editor: Nur R.