JAKARTA, HUMAS MKRI – Tantangan dan problem judicial review di MK memang cukup banyak. Di antaranya, soal adanya anggapan bahwa judicial review hanya terkait pada pengujian materiil. Belakangan, semakin banyak keinginan dari publik untuk melakukan pengujian formil. Oleh karena itu, untuk mengakomodir keinginan publik, perlu adanya payung hukum dalam bentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).
Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi M. Guntur Hamzah selaku narasumber Webinar Nasional yang diselenggarakan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, pada Rabu (22/9/2021) secara daring.
Mengawali pertemuan, Guntur menjelaskan alasan dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia. “Apa urgensinya dibentuk Mahkamah Konstitusi? Padahal sudah ada Mahkamah Agung. Buktinya di beberapa negara, cukup ada Mahkamah Agung saja tanpa adanya Mahkamah Konstitusi,” ujar Guntur yang menyajikan materi “Problem dan Tantangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi di Indonesia”.
Perubahan Paradigma
Guntur menerangkan ontologi pembentukan MK. Menurutnya, sistem ketatanegaraan Indonesia dipandang adaptif dengan MK. Jauh sebelum terbentuknya MK di Indonesia, saat para pendiri bangsa mengadakan pertemuan dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), tercetus ide pembentukan MK. Kala itu Mohammad Yamin menggagas pentingnya suatu lembaga yang disebut Balai Agung untuk bertugas membanding undang-undang (UU), menilai konstitusionalitas sebuah UU. Namun gagasan Yamin ditentang Soepomo. Alasannya, Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan tetapi mengenal pendistribusian kekuasaan. Selain itu, Indonesia belum memiliki ahli untuk membanding UU, kalau istilah sekarang menguji UU.
Sampai dengan terjadinya reformasi di Indonesia pada 1998, ditindaklanjuti dengan perubahan UUD 1945 selama empat tahap (1999-2002), dimasukkanlah ide tentang pembentukan MK di Indonesia. Perubahan UUD 1945 juga mengubah konsep “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR” menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Dengan demikian, terjadi perubahan paradigma tentang kedaulatan. Dulu MPR disebut sebagai lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Setelah perubahan UUD 1945, MPR merupakan lembaga tinggi negara dan setara dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
“Tidak ada lagi supremasi MPR tetapi supremasi konstitusi,” kata Guntur kepada lebih dari 300 peserta webinar nasional.
Karena adanya supremasi konstitusi itulah, lanjut Guntur, maka perlu ada lembaga yang menjaga, mengawal supremasi konstitusi. Seperti halnya cara pandang pakar hukum Hans Kelsen yang menggagas pentingnya ada Mahkamah Konstitusi di Austria pada 1920, karena melihat perlunya ada yang menjaga konstitusi. Di sinilah urgensinya, ontologinya soal relevansi pembentukan MK.
Dasar Pembentukan MK
Guntur menjelaskan dasar hukum pembentukan MK yakni Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945 yang mengatakan,“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Dengan demikian, ujar Guntur, pasal tersebut ingin menegaskan bahwa ada pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu Mahkamah Agung (MA) dan MK.
Selanjutnya Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur tentang kewenangan MK yang terdiri dari menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilu, serta wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
“Di samping kewenangan di atas, MK memiliki kewenangan tambahan yaitu memutus perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Kewenangan tambahan MK ini disebutkan dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Itu pun dengan catatan sebelum terbentuk peradilan khusus. Sepanjang belum dibentuk peradilan khusus, maka kewenangan menangani sengketa pilkada merupakan domain dari MK,” jelas Guntur.
Berbagai Tantangan
Sebagaimana diketahui, kewenangan utama MK adalah menguji UU terhadap UUD. Namun dalam perkembangannya, tutur Guntur, MK mengalami berbagai tantangan. Misalnya, apakah MK juga berwenang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) maupun Ketetapan MPR. Dalam perkembangannya, ternyata MK berwenang menguji Perpu. Dengan pertimbangan bahwa Perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan UU. Termasuk MK juga berwenang menguji Ketetapan MPR.
Guntur menambahkan, dalam perkembangan pelaksanaan kewenangannya, MK juga menyatakan Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 memuat ketentuan yang menyatakan bahwa undang-undang yang dapat diuji di MK adalah undang-undang yang diundangkan setelah Perubahan UUD 1945. Pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional berdasarkan Putusan MK No. 066/PUU-II/2004 (Pengujian UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kadin).
“Ini merupakan ijtihad konstitusi dalam rangka memberikan jaminan hak konstitusional warga negara. MK tetap bisa menguji undang-undang yang terbit sebelum tahun 2003. Hal inilah yang mendapat apresiasi luar biasa dari masyarakat karena terkait jaminan hak konstitusional warga negara,” ucap Guntur.
Tantangan dan problem judicial review di MK juga semakin banyak seiring semakin banyaknya permohonan pengujian materiil dan formil. Oleh karena itu, ujar Guntur, diperlukan adanya payung hukum dalam bentuk PMK.
Guntur mengungkapkan, PMK untuk mengatur soal pengujian materiil dan formil saat ini sedang dalam proses perubahan, revisi, sehingga nantinya masyarakat dapat mengajukan pengujian materiil dan formil. Hanya saja, ketentuan dalam PMK itu harus dipisah antara pengujian materiil dan formil, termasuk waktu penyelesaian pengujian.
Beracara di MK
Berbicara mengenai beracara di MK, Guntur menegaskan bahwa dalam pengujian UU dikenal dengan permohonan, bukan gugatan. Prinsip pengujian UU, Pemohon hanya menguji norma, tidak ada Termohon seperti pada persidangan umum maupun perdata. Selain itu, posisi Pemohon tidak menjadi lawan dengan Pemerintah dan DPR. Karena Pemerintah dan DPR hanya sebagai Pemberi Keterangan.
Guntur juga menjelaskan pengertian para pihak dalam sidang pengujian UU, yakni Pemohon, Pemberi Keterangan, dan Pihak Terkait. Ketiganya dapat diwakili oleh kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan.
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang-undang, yaitu perorangan warga negara Indonesia atau termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU, serta badan hukum publik atau privat, maupun lembaga negara.
Mengenai Pemberi Keterangan, MK dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Selain itu, Keterangan Pemberi Keterangan sekurang-kurangnya memuat uraian yang jelas mengenai fakta yang terjadi saat proses pembahasan dan/atau risalah rapat dari UU atau Perpu yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon, termasuk hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Pemberi Keterangan atau yang diminta oleh Mahkamah.
Kemudian yang disebut Pihak Terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung dan/atau tidak langsung dengan pokok permohonan. Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya secara langsung terpengaruh kepentingannya oleh pokok permohonan. Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah pihak yang hak, kewenangan, dan/atau kepentingannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya terhadap permohonan dimaksud.
Permohonan Online dan Offline
Guntur melanjutkan, permohonan pengujian UU ke MK bisa diajukan secara online dan offline, meskipun banyak Pemohon yang lebih suka mengajukan secara offline dengan datang langsung ke MK. Permohonan yang diajukan Pemohon kemudian diperiksa oleh Kepaniteraan MK, terkait syarat-syarat yang harus dipenuhi Pemohon. Termasuk memeriksa bukti-bukti yang dilampirkan Pemohon. Setelah diperiksa Kepaniteraan MK, permohonan akan diregistrasi melalui Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Selanjutnya, Kepaniteraan MK akan melakukan telaah umum terhadap permohonan Pemohon, mengkaji substansi permohonan, pasal-pasal dan UU yang diuji, dan sebagainya.
Tahap berikutnya, tutur Guntur, Kepaniteraan MK akan membawa permohonan Pemohon ke Ketua MK agar menunjuk panel hakim yang bertugas memeriksa awal permohonan Pemohon. Sebelum dilakukan sidang pendahuluan, panel hakim bersama para peneliti MK yang mendampingi, melakukan penelaahan terkait substansi permohonan, sistematika permohonan dan sebagainya.
Setelah itu barulah MK menyelenggarakan sidang pendahuluan dengan agenda pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan dalam sidang panel oleh tiga hakim konstitusi. Terhadap permohonan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 14 hari MK memberi kesempatan untuk dilakukan perbaikan atau kelengkapan. Karena pada hakikatnya bukan sengketa kepentingan, maka UU mewajibkan Mahkamah melalui hakim panel memberikan nasehat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya.
Setelah sidang pendahuluan, ada sidang perbaikan permohonan. Kemudian kalau permohonan berlanjut berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) MK, maka akan diteruskan menuju sidang pleno atau pembuktian dengan menghadirkan Pemerintah, DPR, Ahli, maupun saksi-saksi. Selanjutnya, permohonan Pemohon kembali dibahas dalam RPH, hingga akhirnya dilakukan sidang pengucapan putusan.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.