BANDUNG, HUMAS MKRI –The 4th Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS) atau ICCIS ke-4 memulai gelaran dengan sesi pleno yang dibuka oleh Peneliti Ahli Madya Pan M. Faiz sebagai moderator dengan tiga pembicara Dosen Fakultas Hukum Monash University Nadirsyah Hosen; Dosen Fakultas Hukum International Islamic University Malaysia Farid Shufian Suaib; serta Dosen Fakultas Hukum National University of Singapore Dian A.H. Shah. ICCIS ke-4 ini mengangkat tema “Constitutional Court, Religion and Constitutional Rights Protection” (Mahkamah Konstitusi, Agama, dan Perlindungan Hak Konstitusional). Acara yang berlangsung selama dua hari, yakni Rabu – Kamis (15 – 16/9/2021) berlangsung secara daring dan luring dari Bandung, Jawa Barat.
Pembicara pertama, Nadirsyah Hosen menyampaikan materi tentang “Reform of Islamic Law and the Indonesian Constitutional Court” (Reformasi Hukum Islam dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia). Dalam artikelnya, ia menyampaikan bahwa melalui putusannya, MKRI berupaya melakukan ijtihad kolektif. Ia menyebut beberapa putusan MKRI yang memengaruhi hukum Islam di Indonesia, seperti dalam Putusan Nomor 86/PUU-X/2012 tentang pengelolaan Zakat. Dalam putusan MK, lanjutnya, MK tanpa ragu menerima legitimasi hukum yang hanya memfasilitasi penerapan syariat Islam, melalui pembentukan lembaga pemerintah pusat zakat (BAZNAS). Menurut Mahkamah, pembentukan BAZNAS sebagai lembaga zakat milik negara bertujuan untuk memperkuat dan mengkoordinasikan layanan zakat yang ada yang diberikan oleh masyarakat dan individu. Pembentukan itu sah, menurut Mahkamah, dan tidak melanggar hak konstitusional yang diajukan oleh para pemohon, yakni hak orang untuk mengembangkan masyarakat dan bangsanya, hak atas kebebasan berkeyakinan dan kebebasan untuk berorganisasi, dan hak untuk mengembangkan diri.
“Oleh karena itu, MK memandang sahnya negara untuk melakukan sentralisasi pengelolaan zakat. Artinya, apa yang disebut dengan birokratisasi Islam oleh negara, dan kooptasinya dalam pengelolaan zakat, bahwa negara telah mengkooptasi zakat untuk lebih mencapai tujuan negara sendiri, dapat diterima secara konstitusional,” ujar Nadirsyah.
Kemudian, Nadirsyah mengungkapkan setidaknya ada empat model putusan MK yang bisa dilihat dalam kaitannya dengan reformasi hukum Islam. Model putusannya, yakni pertama, menerapkan model negara-agama dalam negara-bangsa. MK berpedoman pada Pancasila sebagai ideologi bangsa dan UUD 1945 sebagai sumber tertinggi negara. “Ini bisa dilihat sebagai posisi standar untuk menenangkan mayoritas masyarakat Islam di Indonesia,” ujarnya.
Selanjutnya, Nadirsyah menyebut model putusan lainnya untuk mengonfirmasi pendekatan yang diambil oleh para cendekiawan Muslim Indonesia dalam mengaplikasikan hukum syariah di wilayah tertentu; menitikberatkan kewajiban negara dalam menyelenggarakan dan memfasilitasi kebebasan beragama; dan terakhir, untuk mempromosikan Maqashid al-Syariah (tujuan yang hendak dicapai oleh syari’at). “Bisa dibilang, keempat model putusan MK ini berimplikasi pada wacana reformasi hukum Islam,” ucap Nadirsyah.
Pengadilan di Malaysia
Selanjutnya, Farid Sufian Shuaib memaparkan materi mengenai “The Malaysian Court as the Arbiter of Competing Narrative on the Essence of the Constitution: Watching the Pendulum Swings” (Pengadilan Malaysia sebagai Arbiter Persaingan Narasi pada Esensi Konstitusi: Menyaksikan Pendulum Berayun). Ia mengungkapkan bahwa Malaysia mengalami kesulitan dalam memahami inti dari konstitusi dalam proses peradilannya. Ia menyebut mengenai masalah kepercayaan yang dianut seseorang hingga bermasalah ke pengadilan sebagaimana dialami oleh Indira Gandhi. Indira Gandhi yang menganut agama Hindu menikah dengan suami yang merupakan seorang muslim. Akan tetapi, suami Indira mendaftarkan sertifikat mualaf bagi anak-anaknya tanpa persetujuannya.
“Pengadilan memutuskan persetujuan kedua orang tua dibutuhkan terkait kepercayaan yang dianut oleh seorang anak. Dalam kasus ini, alih-alih melimpahkan masalah tersebut ke pengadilan Syariah untuk mengadili, pengadilan umum justru menegaskan yurisdiksinya dengan memutuskan masalah tersebut,” papar Farid.
Contoh kasus Indira Gandhi juga disebut oleh Dian A.H. Shah dalam materinya mengenai “The Law and Politics of Religion and Constitutional Practices in Asia” (Hukum dan Politik Agama dan Praktik Konstitusional di Asia). Menurut Dian, gugatan Indira menjadi awal mula perjuangan hukum seorang ibu terkait hak asasi anak dan mencari kesamaan kedudukan hukum bagi anak-anaknya. “Kasus seperti Indira Gandhi bukan hanya terkait kepentingan pribadi, melainkan juga berhubungan erat secara sosial politik. Hal ini karena agama tidak hanya mengenai identitas pribadi,” ujar Dian.
Selain itu, Dia menekankan peran gerakan sosial dan mobilisasi dalam membentuk praktik konstitusional yang berimplikasi pada agama di Asia. Ia menggarisbawahi poin bahwa konstitusionalisme dan praktik konstitusional adalah urusan bawah-ke-atas (bottom-up), seperti halnya dari atas-ke-bawah (top-down). Dengan demikian, hal ini masyarakat Asia untuk menghadapi kenyataan bahwa di banyak masyarakat Asia, pihak non-negara mempertahankan pengaruh yang meluas pada agama dan hukum (baik dalam hal pembuatan hukum dan penegakan hukum).
“Pertanyaannya, kemudian, adalah bagaimana negara mendekati dan mengelaborasi ulang hubungan mereka dengan pihak-pihak tersebut dan tuntutan mereka, dan implikasi apa yang mungkin ada pada supremasi hukum dan konstitusionalisme,” ungkap Dian.
Untuk diketahui, sebelumnya MKRI telah menyelenggarakan tiga kali simposium internasional serupa, yakni ICCIS 2017 di Solo; ICCIS 2018 di Yogyakarta; dan ICCIS 2019 di Bali. Karena pandemi COVID-19, ICCIS ke-4 diadakan secara daring dan luring. ICCIS adalah forum akademik global tahunan untuk diskusi gagasan dalam hukum tata negara. Fokus tahun ini adalah isu-isu tentang agama dalam konteks hak konstitusional. Sebelumnya, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Perpustakaan (P4) membuka kesempatan bagi para akademisi untuk mengirimkan artikel sesuai tema. Artikel terpilih dari ICCIS ke-4 akan diterbitkan oleh jurnal akademik Mahkamah Konstitusi, Constitutional Review.(*)
Penulis: Lulu Anjarsari P
Editor: Tiara Agustina