JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Nomor 106/PUU-XVIII/2020 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) terhadap UUD 1945, pada Selasa (14/9/2021). Agenda sidang hari ini yakni mendengarkan keterangan ahli Pemohon.
Para Pemohon menghadirkan Stephen Rolles sebagai ahli. Stephen Rolles merupakan analis kebijakan senior untuk Transform Drug Policy Foundation, sebuah badan amal berbasis di Inggris yang bergiat dalam analisis dan advokasi kebijakan obat‑obatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan, dan kesejahteraan individu, dan masyarakat melalui kebijakan obat‑obatan yang lebih adil, dan efektif.
Stephen Rolles menyampaikan keterangan secara daring dalam Bahasa Inggris kepada Pleno Hakim Konstitusi yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman. Stephen mengatakan, banyak obat‑obatan medis yang diresepkan, memiliki efek psychoactive dan beberapa di antaranya juga digunakan secara nonmedis.
“Memang sebagian besar obat‑obatan nonmedis yang umum digunakan untuk tujuan medis di banyak yurisdiksi atau saat ini sedang diteliti untuk aplikasi medis yang potensial. Ini termasuk obat‑obatan yang bersifat sebagai stimulan yang meningkatkan energi dan membuat orang terjaga seperti cocaine, amphetamine, dan MDMA,” ujar Stephen dalam Bahasa Inggris yang diterjemahkam ke dalam Bahasa Indonesia oleh Miki Rusindaputra Salman.
Dikatakan Stephen, semua obat‑obatan medis memang berpotensi memiliki risiko, bahkan ketika digunakan sesuai petunjuk dokter. Banyak obat‑obatan medis memiliki efek samping dan risiko yang sudah diketahui harus dikelola dengan hati‑hati oleh dokter, ahli farmasi, dan profesional kesehatan lainnya yang menangani pasiennya. Bahkan obat‑obatan seperti pil sakit kepala yang biasa dibeli di warung pun jika digunakan dengan tidak benar memiliki risiko.
Menurutnya, semua obat‑obatan medis tunduk pada berbagai tingkatan lisensi dan regulasi yang mengatur hal‑hal seperti bagaimana, dan di mana tersedia, siapa yang dapat meresepkan atau menjualnya, siapa yang dapat mengaksesnya, bagaimana diproduksi, bagaimana diangkut, dan disimpan, terus dijual dengan dilengkapi dengan informasi apa, dan lain sebagainya. Meskipun sistem hukum berbeda‑beda antarnegara, secara umum semakin besar risiko obat medis tertentu, maka semakin ketat peraturan yang diberlakukan padanya.
Penyelewengan Penggunaan Obat
Lebih lanjut Stephen menjelaskan, salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh regulasi obat‑obatan medis adalah risiko spesifik bahwa obat‑obatan tertentu yang diproduksi untuk keperluan medis dapat diselewengkan untuk penggunaan nonmedis berkat efektif psychoactive-nya. Hal ini merupakan persoalan penting dan patut menjadi perhatian, yang mana suatu persoalan yang menghasilkan pengembangan hukum, sistem hukum, dan peraturan selama satu abad terakhir ini, baik hukum domestik maupun hukum internasional yang secara spesifik berupaya untuk meminimalkan risiko tersebut.
Selain itu, sambung Stephen, meski tidak ada sistem yang sempurna dan penyelewengan atau diversion menjadi perhatian dalam sebagian besar situasi ini, sistem hukum dan regulasi yang telah berkembang selama bertahun-tahun umumnya sudah sangat efektif dalam membatasi penggunaan obat-obatan medis untuk keperluan nonmedis, bahkan yang dianggap paling berisiko tertinggi sekalipun.
“Untuk sebagian besar obat-obatan ini mayoritas besar penggunaan nonmedis itu dipasok melalui produksi ilegal dan jejaring distribusi yang dikendalikan secara kriminal karena dilarang oleh pemerintah dan tidak ada opsi pasokan yang legal. Pasokan medis yang diselewengkan atau yang di-diversion hanya merupakan sebagian kecil dari total penggunaan nonmedis,” terangnya.
Stephen juga menjelaskan mengenai opioid. Opioid itu sendiri merupakan obat yang penting kita punya untuk mengontrol rasa sakit. Baik untuk nyeri pasca operasi, proses persalinan, nyeri punggung kronis, nyeri rematik atau nyeri neuropatik, dan untuk pengobatan paliatif yakni perawatan rasa sakit orang-orang di pengujung hidup mereka. Misalnya mereka yang menderita kanker stadium akhir. Opioid yang digunakan dalam situasi seperti ini antara lain codein, pethidine, tramadol, hydromorphone, oxycodone, morphine, diamorphine, dan fentanyl.
“Semua opioid ini dapat dan pada tingkatan yang berbeda-beda juga digunakan secara nonmedis dan banyak orang kemungkinan sudah mengetahui adanya berbagai masalah terkait kecanduan opioid dari risiko overdosis. Ada banyak kompleksitas seputar regulasi obat-obatan ini, namun perlu dicatat bahwa untuk obat opioid yang paling dikaitkan dengan kecanduan dan overdosis secara global, seperti diamorphine yang juga dikenal dengan istilah heroin dan fentanyl, yakni opioid sintetik kuat, ya, sekitar 50 kali lebih keras dari heroin, hampir semua pasokan untuk pengguna nonmedis adalah melalui jalur ilegal,” jelas Stephen.
Menurut Stephen, penggunaan medis dari obat-obatan ini contohnya di Inggris dilaksanakan dengan sangat ketat, dan efektif, dan hampir nyaris nihil penyelewengan obat ini. Ini bisa menjadi satu contoh studi kasus yang berguna atau menggambarkan bagaimana larangan untuk semua pengguna nonmedis tidak akan memberi dampak berkurangnya penggunaan nonmedis, namun justru hanya akan melemahkan kemampuan dokter untuk memilih bentuk pengendalian nyeri yang paling tepat untuk pasien mereka.
“Meskipun ada kejadian, dimana opioid yang diresepkan kemudian diselewengkan untuk penggunaan nonmedis, terutama di Amerika Serikat dengan obat-obatan seperti oxycodone. Kelemahan sistem regulasi tersebut sudah diidentifikasi, dan diatasi, dan pemberlakuan pembatasan tambahan diterapkan, sehingga pasokan medis legal tetap dapat berlanjut, namun dalam kerangka lebih sesuai,” imbuhnya.
Hal ini, jelas Stephen, penting bagi kita untuk mendapatkan keseimbangan yang tepat terkait seberapa ketat kontrol tersebut. Sementara ada kerangka peraturan yang tidak memadai, ada pula kerangka yang terlalu restriktif membuat akses ke beberapa obat esensial di negara-negara tertentu menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin. Kemampuan kerangka peraturan-peraturan untuk beradaptasi dan berubah dalam menanggapi masalah yang muncul, apakah mengetatkan atau melonggarkan pembatasan sesuai kebutuhan, adalah bagian penting dari suatu kerangka peraturan dapat berfungsi.
Ganja untuk Terapi Medis
Seperti diketahui dalam sidang pendahuluan yang digelar di MK pada 16 Desember 2020 silam, permohonan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 dalam perkara pengujian UU Narkotika ini diajukan oleh Dwi Pertiwi (Pemohon I), Santi Warastuti (Pemohon II), Nafiah Murhayanti (Pemohon III), Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI). Para Pemohon menguji secara materiil Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan. Hal ini dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon karena menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.
Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti, merupakan para ibu dari para anak yang menderita celebral palsy. Sedangkan Perkumpulan Rumah Cemara, ICJR, dan LBHM merupakan organisasi nirlaba yang didirikan dengan tujuan agar masyarakat dapat terpenuhi akses terhadap pelayanan kesehatan.
Dwi Pertiwi, pernah memberikan terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita celebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 silam. Akan tetapi, sekembalinya ke Indonesia, Dwi Pertiwi menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika. Begitupula dengan dua orang ibu lainnya yang menjadi Pemohon perkara ini. Adanya larangan tersebut telah secara jelas, menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.
Menurut para Pemohon, penjelasan norma a quo telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Hak demikian sudah diadopsi dalam Pasal 4 huruf a UU Narkotika yang menyebutkan Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU Narkotika disebutkan, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a juncto Pasal 7 UU Narkotika, narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi.
Di samping itu, ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika memberikan peluang dilakukannya penelitian terhadap Narkotika Golongan I dengan ketentuan tertentu. Dengan demikian, ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tersebut telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan manfaat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa hasil penelitian tentang manfaat kesehatan dari Narkotika Golongan I.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, para pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Penggunaan Narkotika Golongan I Untuk Kepentingan Medis
LSM dan Ibu dari Pasien Celebral Palsy Pertegas Kedudukan Hukum dalam Uji UU Narkotika
DPR Sebut Proses Legalisasi Ganja untuk Kepentingan Medis Berbeda di Setiap Negara
Asmin Fransiska: Indonesia Salah Tafsir atas Konvensi Tunggal Narkotika 1961
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.