JAKARTA, HUMAS MKRI Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung dan penyelesaian sengketanya, tidak terlepas dari antusiasme rakyat saat reformasi untuk mengubah pola suksesi kepemimpinan nasional maupun kepemimpinan di daerah. Akibatnya, peralihan kepemimpinan baik nasional maupun lokal dilakukan dengan melibatkan peran serta rakyat, sehingga rakyat bebas menentukan sikap politik tanpa rasa takut untuk memilih langsung para pemimpinnya.
Demikian diungkapkan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang menyampaikan ceramah kunci Webinar Hukum Constitutional Law Festival (CLFest) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) pada Sabtu (11/9/2021) siang secara daring. Tema webinar adalah “Komparasi Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah dan Urgensi Pembentukan Badan Peradilan Khusus Pilkada Demi Mewujudkan Negara Demokrasi Konstitusional.”
Mekanisme Pilkada
Anwar Usman lebih lanjut mengatakan, kehendak rakyat tersebut kemudian diakomodasi dalam Bab VIIB Pasal 22E Perubahan Ketiga UUD 1945 yang mengatur tentang Pemilu. Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 menyatakan,”Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”.
Dengan diakomodasinya pemilu langsung, maka berbagai sistem pemilu disempurnakan untuk memungkinkan rakyat memilih pemimpin yang dikehendakinya. Di antara penyempurnaan sistem pemilu adalah dianutnya sistem proporsional terbuka. Rakyat tidak hanya memilih partai politik yang mewakili kepentingannya di parlemen, tetapi juga langsung dapat menentukan sosok personal calon wakilnya.
Dalam konteks pilkada, ujar Anwar, sinyalemen dibukanya mekanisme pilkada secara langsung dituangkan dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menginisiasikan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara demokratis. Secara original intent, maksud kata “demokratis” memuat makna bahwa mekanisme pilkada dapat dilakukan melalui DPRD maupun dapat dipilih secara langsung oleh rakyat.
“Dengan mekanisme pemilu dan pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan terpilih wakil-wakil dan pemimpin yang memiliki kapasitas, kompetensi, dan komitmen menciptakan kebaikan bersama yang dikehendaki rakyat karena dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini tentunya berbeda pada masa sebelum reformasi dimana rakyat tidak memperoleh kesempatan untuk memilih wakilnya di parlemen, calon presidennya maupun calon kepala daerahnya secara langsung, melainkan dipilih melalui mekanisme perwakilan,” urai Anwar.
Transisi Demokrasi
Dikatakan Anwar, dengan adanya pemilu secara langsung, baik pemilu nasional maupun lokal, bangsa kita sesungguhnya telah melakukan proses transisi demokrasi melalui transformasi sistem pemilu yang tidak lagi menempatkan rakyat sebagai penonton dalam setiap proses suksesi kepemimpinan, melainkan sebagai pelaku demokrasi sesungguhnya. Dengan demikian, rakyatlah sebagai pemegang kedaulatan dalam sistem demokrasi konstitusional.
Banyak kalangan menilai potret penyelenggaraan pemilu saat ini, utamanya pilkada, amat mengkhawatirkan. Praktik politik uang, konflik horizontal, kecurangan, penyalahgunaan fasilitas negara, ketidaknetralan birokrasi, keberpihakan penyelenggara pemilu pada salah satu calon, anarkisme massa dan masih banyak catatan kelam lainnya.
“Akibatnya, lompatan dalam demokrasi dengan penyelenggaraan pilkada secara langsung kembali diperbincangkan. Ada gagasan yang menghendaki agar menyudahi proses pilkada langsung karena dinilai tidak efektif dan efisien. Bahkan lebih banyak mudharat ketimbang maslahatnya,” lanjut Anwar.
Gagasan untuk menyudahi pilkada langsung, kata Anwar, sempat terealisasi melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) yang mengatur mekanisme baru dalam pilkada, yakni pilkada melalui DPRD. Namun, UU Pilkada yang masih berusia dini tersebut, mesti diaborsi dan dicabut oleh Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perpu Pilkada) yang esensinya mengembalikan mekanisme pilkada yang semula dipilih melalui DPRD berubah menjadi mekanisme pemilihan langsung karena aspirasi dan desakan dari masyarakat menghendaki penyelenggaraan pilkada secara langsung, meskipun mayoritas elite politik menghendaki penyelenggaraan pilkada melalui mekanisme perwakilan.
Mengubah sistem pilkada langsung dan mengembalikan kepada DPRD, menurut Anwar, belum tentu menjadi solusi yang tepat. Meskipun hal ini merupakan wilayah kebijakan hukum yang bersifat terbuka (open legal policy). Namun pilkada oleh DPRD tidak serta merta menghapus politik transaksional dan praktik politik uang. Boleh jadi mekanisme ini akan menguntungkan kalangan elite, karena politik transaksional dan praktik politik uang tidak hanya akan terkonsentrasi di tangan DPRD, tetapi juga akan melahirkan oligarkhi kekuasaan baru yang terpusat.
Oleh karena itu, ujar Anwar, dengan adanya permasalahan yang ada pada pilkada langsung, tidak serta merta sistemnya yang harus diubah, melainkan cara pandang terhadap permasalahan, yang harus ditemukan solusinya. Hal ini disadari betul oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu. Oleh karenanya, aspirasi publik ini kemudian diakomodir oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengeluarkan Perpu. Dengan tetap mempertahankan mekanisme pilkada secara langsung, artinya pengambil kebijakan telah bersikap konsisten atas pilihan sistem suksesi pilkada. Konsistensi ini dapat diterjemahkan sebagai kepastian hukum yang berkelanjutan. Menurut Lon L. Fuller, salah satu ciri hukum yang baik adalah konsisten atau constancy through time or avoidance of frequent change (undang-undang tidak boleh terlalu sering diubah) sehingga kepastian dan ketertiban dalam masyarakat dapat terwujud.
Tarik Ulur
Anwar melanjutkan, dinamika perpolitikan di tanah air pernah menghangat akibat tarik ulur beberapa ketentuan dalam UU Pilkada. Salah satunya, terkait dengan forum peradilan yang berwenang mengadili perselisihan hasil pilkada. Dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2014, forum pengadilan yang berwenang untuk mengadili perselisihan pilkada adalah Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.
Jika ternyata masih terdapat keberatan, kata Anwar, maka dapat dimohonkan keberatan ke Mahkamah Agung dan putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat. Sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat (6) Perpu Pilkada menyatakan, “Pihak yang tidak menerima Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat mengajukan permohonan keberatan ke Mahkamah Agung paling lama 3 (tiga) hari sejak putusan Pengadilan Tinggi dibacakan”. Tetapi setelah Perpu Pilkada ini disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, Undang-Undang ini kemudian diubah lagi melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 157 ayat (1) UU 8 Tahun 2015, ungkap Anwar, yang berwenang untuk mengadili perkara hasil pemilihan adalah badan peradilan khusus. Namun Pasal 157 ayat (3) UU 8 Tahun 2015 menentukan bahwa MK masih berwenang untuk mengadili perkara hasil pemilihan sampai terbentuk badan peradilan khusus.
Pergulatan pemikiran dan perbedaan sikap saat merumuskan UU pilkada merupakan hal yang wajar dan normal dalam sebuah proses demokrasi. Apalagi negara Indonesia boleh dikatakan merupakan negara demokrasi baru yang lahir pada awal abad 21, setelah sebelumnya terkungkung dalam sangkar emas rezim nondemokratik. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemilu, baik nasional maupun lokal perlu diletakkan pada sebuah upaya untuk membangun kesadaran berpolitik masyarakat sehingga kematangan berpolitik masyarakat dapat dicapai.
Salah satu penanda sebuah negara demokrasi konstitusional adalah adanya pelaksanaan pemilu yang demokratis. Konstitusi kita telah menetapkan neraca kedemokratisan penyelenggaraan pemilu. Artinya, pemilu dikatakan demokratis apabila memenuhi asas-asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal inilah yang menjadi core value dalam penyelenggaraan pemilu. Pemilu yang tidak dilaksanakan berdasarkan asas-asas ini, meskipun dilaksanakan secara demokratis karena diselenggarakan langsung, namun jika abai terhadap kelima asas lainnya dan nilai-nilai Pancasila, maka pemilu seperti ini akan menimbulkan cacat dan noda pada kanvas demokrasi negara kita.
Di sisi lain, lanjut Anwar, pemilu yang demokratis tidak hanya dimaknai apabila pemilu itu diselenggarakan secara langsung, tetapi juga perlu dimaknai jika pemilu itu diselenggarakan berdasarkan nilai yang termaktub dalam asas-asas pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945, yakni memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Selain itu, nilai-nilai Pancasila sebagai philosofische grondslag juga harus dijadikan ruh dalam setiap penyelenggaraan pemilu agar pemilu yang dilaksanakan tidak anarkis dan tetap demokratis serta lebih beretika, santun dan bermoral.
Kewenangan Memutus Sengketa Pilkada
Dalam perkembangannya, kewenangan MK dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum diperluas tidak hanya Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD serta Pemilihan Presiden, tetapi juga memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. Berdasarkan Pasal 236C UU Pemda bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Dengan diberlakukannya pasal tersebut penyelesaian sengketa pemilukada menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi dan pemilukada menjadi bagian dari rezim hukum Pemilu.
Selanjutnya, melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, MK telah membatalkan dan menyatakan bahwa Pasal 236C UU Pemda tidak mempunyai hukum mengikat (null and void). Oleh karena itu, MK tidak lagi berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Menurut MK, didasarkan pada tafsir original intent, pada dasarnya kewenangan lembaga negara yang secara jelas dan gamblang diuraikan dalam UUD 1945 bersifat limitatif sehingga tak dimungkinkan diberikan kewenangan lain. Apalagi kewenangan lain itu diberikan oleh peraturan setingkat undang-undang yang secara hierarki tingkatannya berada di bawah konstitusi.
Oleh karenanya dari perspektif ini, kewenangan MK pun bersifat limitatif sehingga tak bisa tidak, pilkada bukan merupakan kewenangan MK. Namun, sepanjang belum ada peradilan khusus yang mengadili perselisihan hasil pilkada, maka MK masih memiliki kewenangan untuk mengadili perselisihan hasil pilkada. Bahkan kewenangan MK dalam mengadili perselisihan hasil pilkada pada masa transisi sebelum terbentuk badan peradilan khusus, saat ini telah dimuat pada Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
“Meskipun dalam putusannya MK menyatakan tidak lagi berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, diskusi dan perdebatan dalam ruang akademis tidak serta merta berakhir. Karena secara teoritik maupun praktik, status hukum pemilihan kepala daerah berada di dua rezim, yakni diatur dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang merupakan rezim pemerintahan daerah. Sedangkan secara teknis pelaksanaannya mengikuti Pasal 22E UUD 1945 yang merupakan rezim Pemilu,” tandas Anwar.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.