JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Selasa (7/9/2021) di Ruang Sidang Pleno MK. Agenda sidang perkara Nomor 16/PUU-XIX/2021 ini adalah Mendengarkan Keterangan Pemerintah, DPR, dan Pemberi Keterangan (Komisi Pemilihan Umum).
Staf Ahli Bidang Hukum dan Kesatuan Bangsa Kementerian Dalam Negeri, Eko Prasetyanto Purnomo Putro mewakili Pemerintah menjelaskan makna Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Makna pasal ini, kata Eko, rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerinatahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
“Perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui pemilu, sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin melalui pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih dalam satu pasangan, secara langsung serta memilih wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut,” jelas Eko kepada Pleno Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Open Legal Policy
Eko melanjutkan keterangan dengan mengutip Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Kemudian Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Eko menegaskan, UUD 1945 sama sekali tidak menetapkan bahwa pemilu harus dilakukan secara serentak atau tidak serentak.
“Dengan demikian, pengaturan mengenai pelaksanaan pemilu secara serentak atau tidak serentak, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD adalah pengaturan yang bersifat open legal policy,” terang Eko.
Pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pengujian UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tertanggal 23 Januari 2014, kata Eko, pada intinya menyatakan agar pemilu dilakukan secara serentak yang didasari pada tiga alasan. Alasan pertama, berdasarkan praktik ketatanegaraan, pelaksanaan pilpres dilaksanakan setelah pemilu legislatif, tidak memberikan penguatan atas pemerintahan yang dikehendaki konstitusi. Alasan kedua, dari segi original intent, gramatikal dan sistematis, pilpres dilaksanakan bersamaan dengan pemilu legislatif. Alasan ketiga, pilpres dan pemilu legislatif akan lebih efisien, menghemat anggaran.
Pengalaman KPU
Sidang berlanjut tanpa kehadiran DPR. Dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), hadir secara daring Anggota KPU Hasyim Asy’ari. Pada kesempatan itu Hasyim mengungkapkan pengalaman KPU dalam konteks Pemilu Serentak 2019.
“Pemilu Serentak 2019 merupakan pemilu nasional pertama yang dilakukan di era reformasi. Pemilu Serentak 2019 memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan pemilu sebelumnya yaitu Pemilu 2004, 2009, dan 2014. Hal tersebut karena pada Pemilu 2019 dilakukan pemilu secara langsung untuk memilih Anggota DPR, Anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPRD baik Provinsi/Kabupaten/Kota dalam satu waktu yang seringkali disebut sebagai pemilu lima kotak suara,” jelas Hasyim.
Dijelaskan Hasyim, Pemilu Serentak 2019 diikuti 20 partai politik peserta pemilu, dengan komposisi 16 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal Aceh. Pemilu Serentak 2019 juga untuk memilih Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 2019-2024.
“Pada prinsipnya, Pemilu Serentak 2019 berjalan sesuai dengan jadwal, program dan tahapan serta berjalan dengan baik, aman dan kondusif. Dalam penyelenggaraan pemilu, KPU tidak hanya profesional tetapi juga independen dengan menjunjung tinggi dan mengutamakan kepentingan umum, proporsionalitas, kepastian hukum, akuntabilitas, efisien dan efektif,” tegas Hasyim.
Berdasarkan data, lanjut Hasyim, tingkat partisipasi Pemilu Serentak 2019 dapat dikatakan cukup tinggi dengan angka partisipasi pemilih mencapai 81,93%. Namun demikian, kata Hasyim, Pemilu Serentak 2019 memiliki implikasi penambahan beban kerja bagi KPU dan badan ad hoc sehingga menimbulkan kelebihan jam kerja yang memunculkan banyak korban jiwa.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon melakukan pengujian Pasal 167 ayat (3), dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu. Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu menyatakan, "Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional." Sedangkan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, "Pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak."
Para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang pada Pemilu 2019 bertugas sebagai penyelenggara pemilu di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Akhid Kurniawan adalah KPPS di TPS No. 024, Kelurahan Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Dimas Permana Hadi adalah PPK di Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Slemen, DI Yogyakarta. Heri Darmawan adalah PPK di Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat. Kemudian Subur Makmur adalah PPS di Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (9/6/2021), Kahfi Adlan Hafiz selaku kuasa hukum Pemohon memaparkan beban kerja para Pemohon sebagai penyelenggara pemilu di tingkat KPPS, PPK, PPS pada Pemilu 2019. Kahfi mengungkapkan, terdapat persoalan yang sangat penting dan mendasar terkait beban kerja penyelenggara pemilu.
"Beban kerja penyelenggara pemilu, khususnya penyelenggara di tingkat KPPS, PPK, dan PPS yang menurut para Pemohon sangat berat, tidak rasional, dan tidak layak," kata Kahfi.
Beban yang sangat berat dan tidak rasional tersebut, jelas Kahfi, disebabkan oleh penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara serentak dalam format lima jenis surat suara dalam waktu yang bersamaan yakni Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Berdasarkan pengalaman Akhid Kurniawan (Pemohon I), lanjut Kahfi, tugas KPPS dalam penyelenggaraan pemilu, tidak hanya dilaksanakan pada hari H pemungutan suara saja. Petugas KPPS, sudah mulai bertugas paling tidak sejak H-3 sebelum hari pemungutan suara. Pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan mulai dari proses penerirnaan dan pengamanan logisitik pemilu, dan membangun lokasi TPS. Pada hari berikutnya, langsung secara berturut-turut menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara untuk lima jenis surat suara sekaligus.
Persoalan konstitusional yang diajukan oleh para Pemohon ke Mahkamah, berkaitan langsung dengan kedudukan para Pemohon sebagai penyelenggara Pemilu 2019. Kendati demikian, Para Pemohon bertekad akan kembali berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu di baik di level KPPS, PPK, PPS pada Pemilu 2024. Persoalan konstitusionalitas ini juga akan berdampak pada kepentingan yang lebih luas, khususnya terkait dengan beban kerja penyelenggara pemilu ad hoc di seluruh wilayah Indonesia untuk penyelenggaraan Pemilu 2024, khususnya KPPS, PPK dan PPS pada tahapan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara, yang punya kaitan langsung agar penyelenggaraan pemilu bisa berjalan sesuai dengan daulat rakyat, pemilu yang jujur, adil, serta beban kerja penyelenggara pemilu yang lebih rasional, layak, dan manusiawi.
Baca juga:
Penyelenggara Pemilu Persoalkan Beban Kerja Pemilu Serentak
Permohonan Uji Pemilu Serentak Diperbaiki
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Humas: Tiara Agustina.
Editor: Nur R.