JAKARTA, HUMAS MKRI - Dalam membaca kebaruan hukum dan perjanjian internasional sebagaimana termuat pada Konvensi Tunggal Narkotika 1961, penting bagi Indonesia untuk melihatnya dari kerangka perlindungan kesehatan dan hak konstitusi warga. Utamanya mengenai Perjanjian Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pasal 12 tentang Hak Atas Kesehatan, yang mengacu pada definisi kesehatan dari WHO mengenai garis hubung yang dipertautkan dengan konvensi narkotika. Sehingga masalah penggolongan narkotika tidak boleh pula terlepas dari kepentingan penghilang rasa sakit dan juga penderitaan bagi mereka yang membutuhkan untuk pengurangan rasa sakit.
Pernyataan tersebut disampaikan Asmin Fransiska selaku Ahli yang dihadirkan para Pemohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Sidang keempat ini digelar pada Senin (30/8/2021) di Ruang Sidang Pleno MK secara daring.
Permohonan perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Dwi Pertiwi (Pemohon I); Santi Warastuti (Pemohon II); Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI). Para Pemohon menguji secara materiil Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan. Hal ini dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon karena menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.
Dalam memaknai konteks Konvensi Tunggal Tahun 1961, menurut Asmin, Pemerintah Indonesia hanya melakukan interpretasi atas pelarangan penggunaan narkotika yang dibaca dalam konteks pergerakan hukum dan bukan hak atas kesehatan. Akibatnya, Indonesia telah melakukan salah tafsir atas Konvensi Tunggal Narkotika 1961. Di samping itu, atas Konvensi Psikotropika 1971 yang sejatinya menyatakan ketika terdapat individu yang perlu diintervensi kesehatannya karena memiliki gangguan penggunaan zat, maka pada Pasal 36 dan Pasal 38 norma tersebut memastikan yang dihukum bukan individunya, melainkan melakukan introvensi kesehatan dan sosial.
Peningkatan Pelayanan Pengobatan
Asmin juga menerangkan bahwa norma dalam UU Narkotika dalam perkara tersebut bertentangan dengan maksud dan tujuan Konvensi Tunggal 1961. Di dalamnya menyatakan harus mewujudkan masyarakat Indonesia dengan adil sesuai dengan amanat UUD 1945. Menurut Asmin, untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan, perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan. Di antaranya, usaha dalam menyediakan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan narkotika.
Menurut Asmin, narkotika di satu sisi merupakan obat dan bahan yang bermafaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pengatur penggolongan secara internasional dikembalikan ke negara masing-masing peserta untuk diatur dalam hukum domestiknya dengan tetap menginformasikan kepada organisasi PBB untuk melakukan kontrol atas narkotika.
“Artinya, penggolongan dimaksudkan untuk dilihat, di-review, serta dilaporkan dalam rangka koordinasi kerja sama kontrol atas narkotika bagi keamanan dan kesehatan global. Pembacaan atas pasal bahwa narkotika tidak diperbolehkan untuk layanan kesehatan, sangatlah merugikan Negara Indonesia yang hanya didasari pada konteks keamanan dan lupa bahwa tujuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 harus pula didasari pada aspek kesehatan dan ilmu pengetahuan yang bertujuan menjamin kesejahteraan dan kesehatan warga negara dan warga dunia,” sampai Asmin dalma sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Manfat Medis dari Cannabis
Pada sidang hari ini, Majelis Hakim juga memperdengarkan keterangan dari David Nutt selaku ahli neuropsikofarmakologi Inggris yang fokus pada penelitian tentang obat-obatan yang mempengaruhi otak dan kondisi kecanduan dan sejenisnya. Dalam keterangannya, David mengatakan cannabis sudah lama digunakan sebagai obat di banyak negara. Di Inggris sendiri sejak 3 tahun lalu, kontrol atas bahan ini dibuka dan dijadikan obat. Hal ini dilakukan setelah banyak bukti dari pasien-pasien yang menggunakan cannabis. Secara medis diungkapkan bahwa tanaman ini memiliki kegunaan signifikan yang tidak dapat diberikan oleh obat-obatan lainnya.
“Jadi di Inggris, cannabis ini telah dipindahkan ke Kategori II, yang artinya cannabis dapat digunakan sebagai obat. Siapa pun dokter spesialis diizinkan untuk meresepkan dengan bukti adanya keamanan dan efikasi atau kemanjuran dari obat tersebut untuk penyakit tertentu. Dan Inggris memiliki pengaturan yang paling bebas karena bisa diresepkan oleh dokter spesialis mana pun,” kata David dalam presentasi sidang dibantu oleh Miki Salman selaku penerjemah.
Pada 2019 lalu, kata David, National Institute for Health and Care Excellence (NICE) merekomendasikan kondisi-kondisi cannabis dapat diresepkan, misalnya kemoterapi untuk rasa mual dan muntah-muntah, serta epilepsi pada anak. Diakui David bahwa telah banyak negara memanfaatkan cannabis karena sifatnya yang aman. Sebab, dari data yang dikumpulkan dari negara-negara seperti Jerman, Italia, Belanda, Amerika Serikat, Kanada, Israel, dan Australia bahwa tidak banyak yang menunjukkan dampak buruk atau masalah yang ditimbulkan dari penggunaan cannabis ini.
Selanjutnya David menggambarkan dua jenis kandungan pada cannabis yakni THC atau tetrahidrokanabinol dan CBD atau kanabidiol. Menurutnya, zat molekul pada keduanya mirip secara struktur kimia, namun memiliki fungsi yang sangat berbeda tetapi dapat saling melengkapi (komplementer). David membuat sebuah laporan penelitian yang pada intinya menunjukkan pasien anak yang mengonsumsi cannabis mengalami pengurangan frekuensi kejang mencapai 80%.
“Jadi ini adalah efek medis yang sangat dramatis dan sangat kuat, cannabis ini bisa betul-betul mengubah kehidupan bagi anak-anak yang sebelumnya gagal dilakukan oleh obat-obatan konvensional,” terang David.
Selain itu, David juga telah melakukan kajian terhadap nilai dari cannabis untuk penyakit neuropati atau penyakit kronis yang sangat sulit untuk dirawat. Hasilnya, kombinasi dari THC dan CBD yang terdapat pada kandungan carnabis memiliki toleransi yang sangat tinggi dan aman. Oleh karena itu, di Inggris atas bukti kuat dari efektivitas cannabis ini mengakibatkan zat ini dikategorisasi ulang karena memiliki sifat-sifat atau khasiat medis yang unik.
Pembentukan Bahan Cannabinoid
Selanjutnya, Musri Musman yang merupakan Guru Besar Ilmu Kimia Alam, Universitas Syiah Kuala Aceh menerangkan mengenai meta-analisis kimia bahan alam tanaman cannabis. Ia mencermati bagaimana pembentukan bahan-bahan cannabinoid yang dapat dipengaruhi oleh temperatur dan UV. Jika dipengaruhi oleh temperatur rendah, maka cannabinoid akan mengalami reaksi sehingga terbentuklah CBGA yang berpotensi sebagai bahan dasar obat-obatan. Bahan dasar obat-obatan ini tidak menunjukkan siklus aktif, tetapi ketika mengalami karboksilasi akan menghasilkan CBD yang dapat berfungsi sebagai obat. Berikutnya, jika temperatur saat panen naik atau UV pada saat memanen pada pukul 10.00, maka yang naik adalah THCA melalui enzim THCA, yang membentuk Delta 9 THCA dan bukan merupakan psikoaktif. Namun jika terperatur naik, maka Delta 9 THCA akan berubah menjadi THC yang bersifat psikoaktif.
“Jadi, masa terbentuknya THC tersebut berlangsung dalam waktu singkat. Oleh karena itu, tidak selamanya konsentrasi yang ada di dalam tumbuhan cannabis dapat dipertahankan karena sangat (tergantung) bagaimana kondisi lingkungan,” sampai Musri.
Berikutnya Musri menerangkan pula faktor-faktor yang mempengaruhi kadar komponen cannabinoid. Pertama, faktor genetik sehingga varian dari tanaman ini tidak dapat diatur jumlah THC dan CBD. Kedua, pelatihan, artinya bagaimana orang menggunakannya? Bagaimana orang memotongnya? Bagaimana orang menggantungnya? Semua hal teresebut, jelas Musri, sangat mempengaruhi tingkat kualitas persentase CBD dan THC.
Musri mengilustrasikan, petir pun dapat memberikan efek yang sangat menentukan terhadap jumlah THC dan CBD di dalam organisme cannabis. Selain itu, kandungan nitrogen yang ada dalam tanah juga menentukan fluktuasi potensi dari cannabis. Bahkan waktu panen pun berpengaruh pada CBD yang dihasilkannya. Jika waktu dilakukan pada musim dingin, maka menghasilkan CBD lebih banyak. Sedangkan jika panen pada musim panas menghasilkan THC lebih banyak. Dengan demikian, suhu sangat mempengaruhi degradasi ganja karena penyimpanan di dalam kotak dalam tahunan, penyegelan, penggunaan, terbukanya tutup tempat menyimpannya, akan mengubah bahan dasar cannabinoid dalam perubahan persentase THC dan CBD.
“Jadi, bila suatu pabrik mengeluarkan hari ini misalnya 18%, maka belum tentu dalam dua minggu atau tiga minggu tetap 18%. Bila botolnya dalam keadaan klir, dalam keadaan jernih, tidak dalam keadaan berwarna, maka perubahan itu dapat saja terjadi cannabinoid sangat sensitif terhadap cahaya,” jelas Musri.
Sebelum mengakhiri persidangan, Ketua MK Anwar mengumumkan bahwa sidang berikutnya akan digelar pada Selasa, 14 September 2021 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan Keterangan Ahli dari Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.