JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Kamis (26/8/2021) di Ruang SIdang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi Nomor 41/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Otto Cornelis Kaligis (OC Kaligis).
OC saat ini merupakan Warga Binaan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas I A, Sukamiskin, Bandung. Ia menguji Pasal 14 ayat (1) huruf I UU Pemasyarakatan yang menyatakan, “Narapidana berhak: i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)”.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, OC Kaligis menyampaikan kerugian konstitusional yang dialaminya. Ia mengatakan bahwa pihaknya diupayakan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mendapatkan remisi. Namun, upaya remisi ini terhalang dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012) tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (PP 32/1999).
“Ditjen PAS memajukan supaya saya mendapatkan remisi melalui Kabid Pembinaan dari Lapas Sukamiskin. Pada dasarnya disetujui, tapi terakhir ada surat dari KPK yang menyatakan saya tidak mungkin mendapatkan remisi gegara PP Nomor 99 dan saya bukan justice collaborator. Bagaimana mungkin saya justice collaborator untuk hal yang sama sekali tidak saya ketahui? Dan karenanya saya merasa tidak adil,” ungkap OC dalam persidangan secara daring.
Kemudian, sambung OC, dalam Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa wewenang KPK berakhir setelah putusan inkracht. Menurutnya, dalam temuan DPR mengenai PP 99/2012 dan justice collaborator tidak ada dasar hukumnya. Lebih lanjut OC menjelaskan bahwa ia bukan seorang pelaku akan tetapi dihukum selama 10 tahun.
“Saya bukan pelaku, tapi dihukum 10 tahun. Putusan dari Mahkamah Agung sendiri mengenai saya sebagai bukan pelaku. Pelaku utamanya hanya dihukum 2 tahun, saya merasakan ada disparitas, sedangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dikatakan dalam pasal yang dasarnya adalah Pancasila dan konstitusi, jelas saya diperlakukan bertentangan dengan Pasal 27, asas equality before the law. Karena itu, saya mencoba mencari keadilan di Mahkamah Konstitusi, padahal dalam pandangan saya PP Nomor 99 itu bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan TAP MPR Nomor 3 Tahun 2000 mengenai katakanlah urutan daripada undang-undang,” jelasnya.
Dalam permohonannya, OC menilai Pemerintah melalui PP 99/2012 mengabaikan amanah tujuan hukum (doelmatighrechts) mengenai pokok pikiran konsepstual pemasyarakatan yang telah ditegaskan sebagai landasan dasar hukum UU Pemasyarakatan sebagaimana tertuang dalam bagian penjelasan umum, di antaranya mengabaikan fungsi pemidanaan yang merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan. Pemerintah menekankan pada unsur balas dendam khususnya pada tindak pidana tertentu yang salah satunya adalah tindak pidana korupsi. Pendekatan unsur balas dendam tersebut menunjukan pemerintah masih berpedoman pada ciri khas doktrin sistem pemenjaraan yang berlaku dalam hukum kolonial belanda.
Selan itu, PP 99/2012 merupakan peraturan teknis yang telah menyimpang dengan membatasi substansi hak hukum (legal rights) dan hak konstitusional (constitutional rights) mengenai perlunya diperketat syarat dan tata cara pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Pembatasan bersyarat terhadap substansi hukum pada ketentuan hak hukum (legal rights) dan hak konstitusional (constitutional rights) Pemohon dalam PP 99/2012 bertentangan dengan Rumusan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.
Pemohon juga berpandangan Integrated Criminal Justice System mengandung makna sinkronisasi keselarasan, yang dapat dibedakan dalam sinkronisasi struktural (structural synchronization) yakni keselarasan dalam rangka hubungan antarlembaga penegak hukum penyidikan, penuntut umum, peradilan dan lembaga permasyarakatan.
Kemudian, norma hukum pidana bukan hanya bersifat ‘pidana’ dalam arti hukuman, melainkan juga dapat berbentuk treatment (tindakan) digagas oleh PBB sejak tahun 1956 tentang ‘thetreatment of offender’ yang perlu diadaptasikan oleh negara-negara anggota PBB melalui kebijakan pidana berdasarkan ‘the Basic of Community Treatment’.
Sehingga dalam petitumnya OC meminta MK untuk menyatakan Ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai pemberian remisi berlaku secara diskriminatif. Kalaupun keberadaan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan dipandang perlu utuk dipertahankan, maka harus dimaknai bahwa pemberian remisi tersebut berlaku secara umum, tanpa diskriminasi. Kemudian ia juga meminta Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan harus dimaknai berlaku untuk seluruh Narapidana, dengan syarat berkelakuan baik, sudah menjalani masa pidana sedikit-dikitnya 6 (enam) bulan, tidak dipidana dengan pidana penjara seumur hidup dan tidak dipidana dengan hukuman mati.
Menanggapi permohonan pemohon tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta Pemohon untuk mempertegas kedudukan hukumnya. Wahiduddin juga menasihati Pemohon agar memperjelas kerugian konstitusional yang dialami.
“Kedudukan hukum, ya, mungkin dipertegas betul apa causal verband adanya hubungan sebab-akibat, kerugian yang dialami, atau potensial dialami oleh Pemohon dengan keberlakuan pasal yang dimohonkan pengujiannya, yang tadi petitumnya sudah dibacakan. Jadi, sekali lagi bentuk kerugian hak konstitusional yang dialami Pak OC itu diuraikan spesifik dan hubungan sebab-akibat, kerugian yang dialami itu, atau potensial dialami itu diuraikan secara lebih rinci. Nampaknya ini belum ditulis, bahkan yang disampaikan intinya tadi, ya menjadi lebih jelas, tapi sekali lagi ini perlu dituangkan di dalam Permohonan ini,” urai Wahiduddin.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh meminta pemohon untuk menguraikan hak konstitusional yang dirugikan.
“Mungkin perlu juga nanti Pak OC untuk menguraikan hak-hak konstitusional apa yang dilanggar dan kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau potensial. Karena apa yang dalam Permohonan ini lebih terkesan pada implementasinya. Mungkin itu perlu diperkuat supaya bisa meyakinkan Hakim untuk Permohonan ini. Kemudian, di dalam Permohonan ini ada angka 9 dan 10, itu belum adanya kalimat konklusi yang menyimpulkan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan a quo. Itu angka 9 dan 10 dalam Permohonan. Itu supaya nanti dipertegas dalam perbaikan nanti,” jelas Daniel.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan bahwa pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Permohonan diserahkan kepada Kepaniteraan MK paling lambat 2 jam sebelum persidangan pada 8 September 2021.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.