JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) kembali digelar di MK pada Senin (16/8/2021) secara virtual. Permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 92/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Burhanudin, seorang dosen yang pernah mengikuti seleksi hakim ad hoc di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2016. Adapun norma yang diujikan yakni Pasal 13 huruf a UU KY.
Dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto, Majleis Hakim Konstitusi mendengarkan keterangan DPR dan Ahli Pemerintah. DPR yang diwakili oleh Sarifuddin Suding menyampaikan bahwa KY merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
“Artinya, KY memiliki peranan penting dalam rangka berjalannya kekuasaan kehakiman sebagai salah satu cabang penting dari kekuasaan negara,” jelas Sarifuddin.
Dikatakan Sarifuddin, kehadiran KY sebagai lembaga negara independen dan mandiri dibentuk dengan alasan agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang luas dan bukan hanya monitoring internal. Selain itu, KY menjadi perantara atau penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan kehakiman yang tujuan utamanya yakni menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun khususnya kekuasaan pemerintah.
Menurut DPR, lanjut Sarifuddin, dengan adanya KY, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman. Adanya KY juga dapat meningkatkan kemandirian kekuasaan kehakiman agar dapat dijaga sehingga politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisir karena KY bukan lembaga politik.
Sarifuddin juga mengatakan, hakim ad hoc terdiri dari hakim ad hoc pada tingkat I, tingkat banding dan tingkat kasasi. “Hakim ad hoc yang dimaksud dalam pasal a quo adalah hakim ad hoc tingkat kasasi yang kedudukannya berada di MA. Hakim ad hoc di MA dapat disamakan dengan hakim agung yang mana keduanya satu kesatuan Majelis dalam sidang pemeriksaan di MA. Hal tersebut bersifat saling melengkapi karena hakim ad hoc memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara,” ungkap Sarifuddin.
Oleh karena itu, kedudukan hakim ad hoc di badan peradilan di bawah MA berbeda dengan hakim ad hoc di MA. KY merupakan lembaga negara yang tidak dapat dipisahkan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka sehingga KY memiliki peranan penting untuk mewujudkan pengangkatan calon hakim agung dan hakim ad hoc di MA. Hal tersebut untuk menjaga, menegakkan kehormatan dan martabat hakim sebagai penegak hukum dan keadilan.
Pada kesempatan yang sama, Majelis Hakim MK juga mendengarkan keterangan Ibnu Sina Candra Negara selaku Ahli Pemohon. Ibnu Sina mengatakan KY dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan martabat serta perilaku hakim.
Menurutnya, KY dapat dikualifikasi sebagai agen atau lembaga pendukung yang mana MA dan MK memegang kekuasaan kehakiman. Sedangkan KY memiliki wewenang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
“Hubungan kekuasaan wewenang satu sama lain menegaskan adanya hubungan sebab akibat. Kekuasaan kehakiman sebagai suatu sebab sedangkan wewenang yang dimiliki KY sebagai akibat. Hal ini disebabkan kekuasaan kehakiman mencerminkan salah satu fungsi pokok negara. Sedangkan wewenang KY mencerminkan otoritas formal legal yang menopang pelaksanaan kekuasaan kehakiman semata. Oleh karena itu, bukan disebabkan oleh akibat maka wewenang KY terbatas pada wewenang apa yang disebutkan dalam UUD,” ungkap Ibnu Sina.
Lebih lanjut Ibnu menegaskan, secara konstitusional Pasal 24B Ayat (1) memberikan atribusi kewenangan kepada KY, maka apabila ditelaah secara gramatikal maka ketentuan tersebut memberi dua kewenangan utama kepada KY yaitu mengusulkan pengangkatan calon hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Terhadap dua kewenangan tersebut, sambung Ibnu, dalam perkembangannya kerap kali diekstensifikasi dalam penafsiran pada tingkat legislasi kewenangan KY. Akan tetapi, hal tersebut selalu dibatalkan dalam pengujian UU seperti yang terjadi dalam Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 dan Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015. Menurut Ibnu Sina, kewenangan yang kerap diekstensifikasi adalah wewenang kedua yaitu mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran serta perilaku hakim. Atas kewenangan ini UU Nomor 22 Tahun 2004 (UU KY yang lama) telah menafsirkan kewenangan tersebut sebagai kewenangan pengawasan yang terdiri atas penegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Untuk diketahui, permohonan uji materi UU KY diajukan oleh Burhanudin, seorang dosen yang pernah mengikuti seleksi hakim ad hoc di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2016. Adapun norma yang diujikan yakni Pasal 13 huruf a UU KY.
Dalam persidangan sebelumnya, Zainal Arifin Hoesein selaku kuasa Pemohon mengatakan bahwa Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya frasa “dan hakim ad hoc”. Selain itu, aturan hukum dalam UU a quo yang menyamakan hakim ad hoc dengan Hakim Agung, merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Menurutnya hakim ad hoc pada MA tidak sama dengan hakim agung baik status, fungsi, dan kewenangan yang melekat pada jabatannya. Jabatan hakim ad hoc pada MA tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan jabatan hakim agung. Model seleksi terhadap hakim ad hoc, khususnya Tipikor yang dilakukan oleh MA yang diatur dalam UU Pengadilan Tipikor, sebelum berlakunya ketentuan UU KY, lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan sesuai kompetensi seorang hakim ad hoc di bidang tertentu sebagaimana yang dibutuhkan oleh MA.
Lebih lanjut Zainal menjelaskan, Pengadilan Tipikior bernaung di MA sebagai pengadilan khusus di bawah lembaga peradilan umum. Menurutnya, kebijakan negara dalam menghadapi korupsi yang sudah menjadi kejahatan luar biasa adalah dengan membentuk lembaga negara independen, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Guna mendukung kinerja KPK, sambung Zainal, maka dibentuk pengadilan khusus yang diletakkan pada MA di bawah lembaga peradilan umum.
Ketentuan hakim ad hoc merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan MA baik yang ditentukan dalam UUD 1945 maupun UU Kekuasaan Kehakiman. Dengan adanya ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, maka jelaslah bahwa Pembentuk Undang-Undang secara expressis verbis telah memperluas kewenangan KY yang semula hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung juga mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA. Dengan demikian, memperlakukan seleksi yang sama antara calon hakim MA dengan hakim ad hoc yang memiliki perbedaan baik secara struktural, maupun status merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai keadilan.
Selain itu mendasarkan ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, tanggal 7 Oktober 2015, maka telah ternyata ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY inkonstitusional, sehingga Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY harus bertentangan secara konstitusional dengan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Baca Juga:
Menguji Kewenangan KY Mengusulkan Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Penguji Kewenangan KY Perbaiki Kerugian Konstitusional
Pemerintah Belum Siap, Sidang Uji UU KY Ditunda
Pemerintah, MA, dan KY Tanggapi Soal Kewenangan KY dalam Seleksi Hakim Ad Hoc
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.